Friday, 24 May 2013

KAMPUNG LEMBAH LAI-HIDING


Kampung Lai Hiding
Membuat sebuah liputan di kampung memang banyak pelajaran yang diperoleh bila dibandingkan dengan di kota. Paling tidak kita teringat kembali akan kesederhanaan, keramah tamahan, tenggang rasa, gotong royong menjadi pemandangan umum hingga membut kita terenyuh. 

Sangat berbeda ketika kita sedikit berkilas balik dengan umunya warga perkotaan. Belum lagi agungnya karya Tuhan bagai guratan kuas tinta pada kanvas yang tak ada harganya dalam sebuah lukisan alam.

Kawanan Kerbau di Tengah Kampung Setelah Pulang Dari Sungai

Seperti itulah yang aku rasakan ketika menemani sahabatku Iki dan Moko ketika melakukan liputan di kampung lai-Hiding desa Kiritana

Seperti umumnya kampung-kampung di Sumba Timur-NTT selalu terpisah jauh dari kampung lainnya. Namun radius dari kota Waingapu tidak lah jauh.

Membutuhkan waktu tak lebih dari satu jam perjalanan kita telah masuk di kampung ini dari Kota Waingapu-Sumba Timur.

Namun untuk sampai ke kampung ini hanya setengah perjalanan dengan mengunakanan kendaraan bermotor atau carteran dari kota Waingapu. Selebihnya kita harus berjalan sejauh kurang lebih satu kilo meter.

Sedangkan ada alternatif lain yaitu dengan menggunakan perahu motor tempel yang dapat disewa. Namun perahu tempel ini akan kesulitan bila memasuki daerah yang dangkal dan harus melawan arus ketika berangkat ke kampung Lai-Hiding.

Perahu Tempel untuk Transportasi Warga


Sungai Kambaniru

Tetapi akan sangat memanjakan mata ketika pulang dari kampung ini dengan menggunakan perahu temple karena mengikuti arus dan pemandangan sepanjang sungai berupa tebing batu, perbukitan yang memanjakan mata.

Tebing Batu di Sepanjang Bantaran Sungai

Jadi yang pastinya ketika ingin mengunjungi kampung ini mempaunyai rute yang berbeda ketika berangkat dan pulang.    

Bagi yang mau hiking terlebih dahulu maka  menuju kampung ini sungguh sebuah pengalaman mengasikan. Pertama-tama kita harus menyeberangi sungai selebar kurang lebih 50 meter. Biasanya ada sampan warga yang disiapkan di tepi sungai Kambaniru. Setelah itu lalu menempuh perjalanan menyusuri padang dan tebing batu. 

Keindahan akan mulai nampak ketika kita mengabadikan moment dalam sebuah frame gambar sungai lekukan sungai dari bukit savana.

Setelah itu kitapun akan turun menyusuri tebing batu dengan kemiringan yang cukup terjal. Dan setelah melewatinya kita akan meyeberangi sungai lagi. Rupanya masih sungai yang sama namun karena lekukanya  bagai “ tubuh ular melingkar” makanya seperti kita harus menyusuri dua sungai ketika hendak memasuki kampung ini.   
Tebing terjal cocok untuk Hiking
Padang Savana dan Sungai

Topografi kampung yang terletak di lembah ini ternyata menyimpan keindahan alam yang tak terduga dengan kehidupan social khas masyarakat lokal Sumba Timur.

Ketika sore hari atau pagi hari kita dapat naik ke bukit kecil di depan kampung untuk menikmati matahari senja atau pagi hari.

Untuk penginapan tak perlu ragu karena kita dapat tidur bersama warga. Keramahan warga di kampung ini tak perlu disangsikan.
Anak-Anak Bermain di Tengah Kampung


Iki Habis Menyembelih Seekor Ayam
Bersama Iki dan Moko

Tak ada listrik di kampung ini ketika malam hari biasanya hanya diterangi pelita. Begitun kita tak akan diganggu dengan deringan telepon dan sms dari hanphone karena tak ada signal di kampung yang ada hanya bunyi kodok, jengkrik, hingga kita terasa sangat dekat dengan alam. 

NB:

  • Harga mobil carteran 650-800 ribu rupiah perhari di Sumba umumya dan dapat berubah sewaktu-waktu



Friday, 19 April 2013

PULAU SALURA DEKAT AUSTRALIA


Pantai di Pulau Salura
  
Umumnya pulau-pulau terluar meyimpan eksotisme panorama alam pantai yang luar biasa. Ya! Pulau Salura salah satunya. Berada di bagian selatan Pulau Sumba-NTT. Rupanya Pulau Salura langsung berhadapan dengan Samudera Hindia. Pulau ini merupakan salah satu pulau terluar berpenghuni yang berbatasan langsung dengan negara Australia. Kurang lebih berjalak 800 mil ke perbatasan wilayah laut Negeri Kanguru.
 
Mungkin terdengar asing di telinga sejumlah warga negara Indonesia. Tak heran karena pulau ini bagi kebanyakan orang jarang dikunjungi bahkan bagi orang Sumba sendiri. 

Dari Waingapu ibu kota kabupaten Sumba Timur, kita membutuhkan waktu kurang lebih 5 jam perjalanan darat dengan menggunakan kendaraan carteran menuju pantai Katundu yang merupakan tempat penyeberangan menuju Pulau Salura. 

Perjalanan darat dapat menggunakan kendaraan carteran dengan tarif hampir 800 ribu hingga 1 juta rupiah sekali jalan. Tarif tersebut cukup dimaklumi karena kondisi jalan dengan aspal yang mulai terkelupas dan medan perjalanan yang harus naik turun gunung.


Padang Savana Sumba

Namun tak perlu merasa risau karena sepanjang perjalanan kita akan disuguhi keindahan padang savana, dengan bukit dan lembah yang tak kelihatan ujungnya. Belum lagi batu-batu megalit sebagai penghias makam warga di setiap perkampungan. 
Jalan menuju Salura


Batu Kubur ala Sumba-NTT

Namun tak hanya menggunakan kendaran carteran, kita juga bisa menggunakan kendaraan angkutan umum dengan biaya 60 ribu rupiah, namun tentunya akan memakan waktu lebih lama dan rela berdesakan dengan penumpang lain mengingat minimnya transportasi.

Setelah tiba di pantai Katundu, kurang lebih membutuhkan waktu satu jam lagi menggunakan kapal motor kayu milik warga, untuk sampai di Pulau Salura. Jadi waktu tempuh keseluruhan mencapai 6 jam dari kota Waingapu.

Di pantai Katundu ini juga menjadi pasar mingguan bagi warga di Katundu dan Salura. Sekali seminggu biasanya dua buah kapal motor dari Pulau Salura menyeberang ke pantai ini membawa warga untuk berbelanja kebutuhan pokok. Biasanya penyeberangan dilakukan pada setiap hari selasa dengan tarif 10 ribu rupiah sekali berangkat. Namun bila bukan hari pasar maka tarif mencapai 250 ribu sekali jalan.
Perahu Motor menuju Pulau Salura

Ganasnya ombak pantai selatan ini mungkin yang menjadi penyebab Pulau Salura ini jarang dikunjungi. “Bismila hirahman hirahim”, “Tuhan Yesus lindungi kami” kalimat itu menjadi salam khas pembuka ketika menaiki kapal motor ke Pulau Salura bagi yang takut mati diterjang ombak laut dan yang mempunyai kemampuan renang “gaya batu”. Namun tidak bagiku karena mataku tertuju pada sebuah jerigen kosong di atas perahu motor.

Transportasi yang hanya menggunakan kapal motor kayu berkapasitas kurang lebih 20 penumpang memang sangat mencemaskan. Pantai Katundu dipilih karena aman dari ombak tinggi sehingga menjadi tempat berlabuh kapal-kapal motor penumpang dan nelayan. Namun kapal motor penumpang ke Pulau Salura akan berhenti beroperasi ketika musim barat tiba pada bulan desember hingga bulan april tahun berikutnya.

Kecemasan akan hilang ketika pesisir pantai Pulau Salura mulai terlihat, kita disuguhi jernihnya air laut dan gradasi warna biru yang mempesona. Pasir putihnya sungguh menggemaskan diapiti cemara-cemara pesisir sebagai tempat berteduh dan bersandarnya perahu-perahu nelayan.
Rupanya bukan hanya Pulau Salura yang menjadi pulau terluar. Namun ada 2 pulau lain lagi yakni Pulau Kotak dan Pulau Menggudu. 


Pesisir Pantai Pulau Salura



Pulau Kotak tepat berada di depan Pulau Salura hanya membutuhkan waktu kurang lebih 10 menit dengan menggunakan parahu ketinting kita sampai di pulau ini. Pulau Kotak tak berpenduduk. Menyaksikan matahari terbenam di balik Pulau Kotak dari tepi pantai Pulau Salura sungguh mengasikan.


Sunset di Pulau Kotak


Pulau Kotak


Pulau Kotak (kanan) dan Pulau Menggudu (tersamar jauh di belakang kiri)

Pulau yang lain adalah Pulau Menggudu jaraknya kurang lebih setengah jam perjalanan menggunakan perahu ketinting untuk sampai di pulau ini. Seperti Pulau Kotak, Pulau Menggudu tak memiliki penghuni. 

Pantai di ketiga pulau ini memiliki pasir putih yang masih alami seperti tak pernah terjamah sama sekali.

Indahnya gugusan pulau terluar semakin nampak ketika kita mendaki bukit yang menjadi puncak tertinggi di Pulau Salura. Buih ombak membentuk suatu garis lekukan membujur bagai busur diantara Pulau Kotak, Menggudu dan Salura.

Untuk penginapan di Pulau Salura saya biasanya nginap di pos polisi perbatasan. Namun itu bukan satu-satunya kita bisa nginap di rumahnya kepada desa atau di rumah warga setempat. (Ignas Kunda)
       
Nelayan Pulau Salura



Pose di gunung pada bagian belakang Pulau Salura
        (semua foto diatas adalah hasil jepretan @AryoVerry) 

NB : Harga dapat berubah sewaktu-waktu                                                                                                                       

Saturday, 6 April 2013

ROAD TO SUMBA

Padang Savana di Kabupaten Sumba Timur


Indonesia memiliki ribuan pulau dari Sabang sampai Marauke, dari pulau Weh sampai pulau Rote. Tak terkecuali pulau Sumba (bukan Sumbawa-NTB) di propinsi Nusa Tenggara Timur. Pulau Sumba terkenal dengan eksotisme budayanya yang masih terkenal kental tak heran pulau ini biasa disebut dengan Tanah Marapu (Marapu : Kepercayaan masyarakat lokal). Namun ada lagi sebutan seperti Pulau Cendana namun sebutan ini seakan musnah seiring hilangnya kayu Cendana di pulau ini. Biasanya orang menyebut Pulau Sandelwood karena Kuda Sumba sering disebut dengan Kuda Sandel (istilah yang merujuk pada Kayu Cendana dimana dalam bahasa Inggris : Sandalwood dan dalam bahasa Belanda : Sandelhout) Bukan hanya itu pulau ini juga disebut dengan pulau Seribu Kubur karena banyaknya makam-makam megah yang menghiasi sekitar area tempat tinggal masyarakat.

Secara geografis pulau Sumba pada umumnya beriklim kering. Pulau Sumba terdiri dari 4 kabupaten yakni Sumba Timur, Sumba Barat, Sumba Tengah dan Sumba Barat Daya. Hanya membutuhkan waktu sekitar 5 jam dengan menggunakan angkutan umum untuk menyinggahi 4 kabupaten di pulau Sumba.  

Bagi sebagian orang yang hendak mengunjungi pulau Sumba tentu dengan mudah untuk menyambangi pulau ini dengan berbagai transportasi baik darat laut dan udara. Untuk pengunjung yang menggunakan pesawat terbang dapat turun pada 2 bandara yanga ada di pulau sumba yakni  Bandara Umbu Mehang Kunda, Kota Waingapu-Kabupaten Sumba Timur, dan Bandara Tambolaka-Kabupaten Sumba Barat Daya.

Sunset (Kembali Ke Peraduan)


Untuk rute penerbangan ada 2 alternatif untuk masuk di pulau Sumba. Para pengunjung yang berasal dari barat (Medan, Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Semarang, Surabaya, Denpasar dll) dapat melalui penerbangan menggunakan pesawat komersil dengan transit bandara Ngurah Rai-Denpasar-Bali atau bandara Eltari-Kupang-NTT (ibu kota provinsi NTT) sebelum landing di bandara Umbu Mehang Kunda,  kota Waingapu-Kabupaten Sumba Timur atau juga di bandara Tambolaka-Sumba Barat Daya.

Hargapun bervariatif tergantung maskapai namun harganya berkisar 1 juta sampai 1,5 untuk penerbangan langsung ke Sumba dari Denpasar atau Kupang.  Para pengunjungpun bisa berhitung dengan budget yang ada kalau seandainya dari Jakarta atau dari kota besar lainya di pulau lainnya. Sebagai Informasi lengkap, harga dapat dicek website maskapai yang melayani penerbangan ke Sumba seperti http://www.merpati.co.id/ http://www.transnusa.co.id/ http://www.lionair.co.id/default.aspx 


Perairan Pulau Sumba-NTT

Namun bagi para traveler sejati yang ingin menikmati serunya perjalanan darat dengan menggunakan kendaraan sendiri atau angkutan umum pasti akan melakukan empat kali penyeberangan melewati 3 pulau yakni Bali-Lombok-Sumbawa sebelum memasuki pulau Sumba.
Bagi traveler yang telah sampai di ujung timur pulau Jawa (Surabaya) dapat langsung melakukan perjalanan ke pelabuhan Ketapang-Banyuwangi lalu menyeberang ke pelabuhan Gilimanuk-Bali dengan waktu tempuh sekitar 30 menit.

Setelah itu lalu melanjutkan perjalanan masuk Kota Denpasar dan terus menuju pelabuhan Padang Bay dimana masih berada di pulau Bali dengan perjalanan 3 - 4 jam.
Setelah sampai di pelabuhan Padang Bay para traveler bisa melanjutkan perjalanan dengan fery penyeberangan menuju pelabuhan Lembar-Lombok Barat dengan waktu sekitar 6 jam.

Dari Lombok Barat lalu menuju pelabuhan Kayangan-Lombok Timur dengan 2 jam perjalanan. Di Lombok Timur traveler mania untuk ketiga kalinya melakukan penyebrangan menuju pelabuhan Poto Tano-Sumbawa dengan waktu tempuh 2 - 3 jam. Membutuhkan waktu lumayan lama sekitar 3 - 4 jam untuk menyusuri perjalanan dari Poto Tano lalu menuju pelabuhan Sape-Bima. Untuk terakhir kalinya para traveler harus menggunakan fery penyeberangan dari Sape menuju pelabuhan Waikelo-Sumba Barat Daya dengan waktu tempuh sekitar 6 - 8 jam.

Seru bukan! Tapi bagi traveler mania ini tentu sebuah tantangan yang tak mau terlewatkan.

Nah ada satu lagi yang bila para traveler ingin terlebih dahulu menyambangi pulau Flores (Labuan Bajo/Kab.Manggarai Barat-Ruteng/Kab.Manggarai-Borong/Kab.Manggarai Timur-Bajawa/Kab.Ngada-Mbay/Kab.Nagekeo-Ende-Maumere/Kab.Sikka-Larantuka/Kab.Flores Timur) dan ingin ke Pulau Sumba. Maka penyeberangan dapat dilakukan dari pelabuahan Aimere-Kabupaten Ngada dengan menggunakan fery penyeberangan dengan waktu tempuh sekitar 7 jam menuju pelabuhan Waingapu-Sumba Timur.

Namun bagi traveler yang telah berada di kabupaten Ende dapat juga menggunakan angkutan Pelni dengan waktu tempuh sekitar 10 jam dari pelabuhan Ipi-Ende. Apabila membawa  kendaraan sendiri dapat juga menggunakan fery penyeberangan dari pelabuhan Nangakeo-Ende dengan waktu tempuh sekitar 9 jam sebelum tiba di Waingapu-Sumba Timur.

Begitu juga bagi para traveler yang telah menyambangi pulau Timor dan terlebih dahulu mmengunjungi beberapa kota seperti  Kupang-Soe-Kefa-Atambua. Ada 2 alternatif yang ditawarkan bagi para traveler. Pertama, bisa menggunakan pesawat udara dengan jadawal penerbangan hampir tiap hari menuju bandara Umbu Mehang Kunda di Waingapu-Sumba Timur dan bandara Tambolaka-Sumba Barat Daya. Kedua, menggunakan angkutan laut layanan ASDP bagi yang membawa kendaraan sendiri atau juga menggunakan layanan transportasi PT. PELNI. Membutuhkan waktu tempuh 24 jam sebelum tiba di Waingapu-Sumba Timur.
Untuk informasi penting tentang jadwal fery penyeberangan bisa langsung kontak di kantor cabang ASDP lewat nomor kontak yang tertera di website http://www.indonesiaferry.co.id/id/contactus/branchoffice Sedangkan untuk informasi kapal PT. PELNI dapat dilihat pada website  www.pelni.co.id

Sedangkan untuk pengunjung yang ingin menikmati perjalanan lewat lautan dapat menggunakan transportasi PT. PELNI (www.pelni.co.id) dari Surabaya para traveler mania dapat langsung ke palabuhan Tanjung Perak lalu akan berlayar menyinggahi pelabuhan Benoa-Bali lalu pelabuhan Lembar atau Ampenan di Lombok lalu menuju Bima dan setelah itu memasuki Waingapu-Sumba Timur. Ongkos untuk satu kali perjalanan ini tak lebih dari 300-500 ribu rupiah. Namun akan memakan waktu hingga 3 hari sebelum tiba di pulau Sumba. 

Mungkin itu saja yang bisa aku bagikan pada teman-teman petualang, lebih kurangnya silakan mencari informasi dari keluarga atau sahabat yang pernah atau yang tinggal di pulau Sumba atau juga yang ada pada rute-rute perjalanan menuju Pulau Sumba. Jangan lupa mencari informasi lewat internet atau media social yang berhubungan dengan traveling.


Savana Sumba-NTT

SANG KAPTEN “Life Is Journey”


Take Picture

Dunia jurnalistik mengisi hari hariku ketika aku membuat tulisan dalam blog ini. Adalah sebuah pengalaman dalam hidupku, bagaimana mungkin dengan basic kuliah di Teknik Mesin namun aku harus bekerja di dunia jurnalistik. Tak bisa dibayangkan bahwa sesuatu yang bertolak belakang.

Namun bila ditanya kenapa aku bisa menulis? Sebenarnya sejak kecil aku suka membaca dan menulis. Kemampuan semakin terasah ketika aku bekerja dalam dunia Jurnalistik sebagai jurnalis televisi freelance (kontributor) dimana harus menjadi reporter sakaligus kameraman.
Segala baik buruk dan keluh kesah bercampur aduk dalam memburu berita. Setelah itu harus menulis naskah dan mengedit gambar yang akan dikirim ke redaksi. Rutinitas yang memaksa otak dan fisik pada setiap hari dan itulah  perjalanan hidupku dari sepenggal  umur hidupku.

Aku tak tahu ini harus berakhir sampai dimana namun yang pastinya aku harus hidup sampai mati. Karena bagiku hidup adalah sebuah perjalanan yang tiada henti bagai aliran air sungai yang akhirnya bermuara ke laut.


Aku percaya akan adanya Tuhan bekerja dalam perjalanan hidupku sehingga aku bisa menghasilkan karya jurnalistik dan aku berterima kasih akan hal ini.

Tak bisa dipungkiri banyak cara yang dilakukan orang dalam mendefenisikan hidup. Dan beragam cara pula yang dilakukan orang sebagai bentuk protes atas apa yang telah dilakukan Tuhan pada kita ketika tidak sesuai dengan keinginan kita.

Gejolak mudaku laksana kobaran api dengan lidah merontah ke langit seakan ingin membakar langit biru ketika melihat seorang presenter televisi membawakan sebuah acara dan membaca berita. Begitupun ketika melihat beberapa film-film box office sepertinya aku ingin suatu saat aku ada di panggung itu.

Aku teringat pada sebuah film box office berjudul “Act of Valor” kisah tentang seorang prajurit dari sebuah pasukan khusus tentara Amerika “Navi Seals” kalau di Indonesia mungkin setara dengan Kopaskhas milik AU atau Kopasus milik AD. Pasukan yang berjumlah kurang lebih 7 orang ini selalu diterjunkan dalam operasi khusus penyelamatan atau penyerangan dalam kantong musuh. Mereka penuh dedikasi untuk negaranya.

Dalam sepenggal kisah ketika dalam sebuah penyergapan sebuah granat dilemparkan oleh musuh pada pasukan ini. Mengetahui bahaya ledakan Kapten dari pasukan ini segera menjatuhkan diri ke granat itu sehingga tidak sampai mematikan sahabat-sahabatnya namun meremukan tulang-tulangnya. Operasi itupun berhasil. Negaranya selamat dari ancaman. Namun naas sang Kapten pun gugur.   Rupanya sebelum berangkat perang ia meninggalkan seorang istri yang sedang hamil tua. Sebelum pergi berperang istrinya sempat berkata “ Aku ingin melihat matamu ketika putra kita lahir”.


Bagi sang Kapten perang adalah soal keinginan, tak ada ruang untuk simpati, ketika menyerah maka akan ia telah kalah dan itulah katika pengabdian pada negara ia rela meninggalkan sang istri.

Sebelum gugur ia pernah menulis di medan tempur dan dititipkan buat sang isteri untuk dibacakan pada anaknya sebagai pesan:

Ayahmu seorang pria yang baik, tumbuh tanpanya akan sangat sulit. Itu akan terasa pedih. Kamu akan akan sendirian tanpa pemandu dan pelita. Kamupun akan bertanya “Kenapa mesti aku? Kenapa mesti dia?”. Ingatlan darah ksatria mengalir dalam nadimu lambang yang menjadikan ayahmu Pahlawan, yang juga akan menjadikanmu pria yang ayah kagumi dan hormati. Masukan kepedihanmu dalam kotak dan kuncilah. Seperti orang dalam lukisan (pahlawan) itu yang dikagumi ayahmu. Kita laki-laki terbuat dari kotak, dari pedihnya ruang kekalahan dan kemenangan, harapan dan cinta. Tak seorangpun yang lebih kuat dan lebih berbahaya , dari pada seorang pria yang bisa mengendalikan emosinya. Masa lalunya, gunakan sebagai bahan bakar dan amunisi, sebagai tinta penulis surat yang terpenting dalam hidupmu. Jalani hidupmu dimana ketakutan kematian tidak pernah menyusupi hatimu. Hargai kepercayaan orang lain. Hormati orang lain dan pandangannya dan minta mereka menghormati pandanganmu. Cintai hidupmu, sempurnakanlah hidupmu, perindah semua hal dalam hidupmu. Berusahalah panjang umur dan layani negaramu sampai ajal menjemput. Janganlah seperti mereka yang hatinya diliputi rasa takut akan kematian. Sehingga ketika kematian menjemput mereka menangis dan berdoa diperpanjang waktunya untuk hidup selamanya dan tiada beda menyanyikan lagu kematianmu. Gugurlah seperti pahlawan yang pulang ke rumah”.  
  
Ada yang takut akan kematian sehingga melihat hidup ini penuh ketakutan. Namun itulah hidup tanpa kita menikmati segala tantangan yang ada di dalamnya kita adalah orang yang mati suri. Bukankan Tuhan telah memberi kita napas ketika kita bangun dipagi hari. Untuk apa harus selalu mengeluh tanpa tahu bersyukur. Hidup ini siarah. Pejalanan hidup mencapai puncak ketika kematian menyambut. Jadilah pahlawan untuk sisi hidupmu seperti sang kapten di “Act of Valor ”.
Lebih baik jadi berguna dari pada jadi hebat  seperti kata Filep Karma

Aku hanya bisa berdoa dan berharap pada Tuhan kalau sekiranya dalam perjalanan hidupku ketika aku tidak bekerja lagi dalam dunia jurnalistik namun jangan jauhkan aku dari kamera karena darinya mungkin aku bisa mewartakan karya-Mu.

Menjadi Sang Kapten dalam menuntun perjalanan hidupku sendiri. (“Live Is Journey Sang Kapten!”.)

KEMANGI


Tanaman Kemangi
Sekitar tahun 2009, pertama kali aku mengenal apa itu blog,  mulai dari Blogspoot dari Google, Wordpress, dan lain sebagainya. Keseringan berinteraksi dalam dunia maya dan ingin mengikuti perkembangan teknologi membuat tanganku “gatal” harus membuat blog biar tidak dibilang gaptek.

Sayangnya rasa ingin tahu-ku tak berkembang ke arah yang lebih kreatif karena setelah mengetahui cara membuat, mengenal beberapa fitur yang ditawarkan semuanya berjalan statis bagai air dalam kolam yang tak pernah diganti hingga password dan nama blognyapun aku lupa. Tak urung blog barupun dibuat lagi, namun penyakit lama muncul lagi bagai asam lambung yang timbul ketika makan acar berlebihan.

Tak terasa seiring berjalannya waktu ketika memasuki tahun 2012 ini, pucuk-pucuk daun Kemangi mulai merekah seiring datangnya musim hujan, harum semerbak dari daun-daun mudah menusuk hidung pada sekitar tempat tinggalku. Tak seperti daun dewasa yang telah merekah,  daun-daun mudah ini seakan menyuruh sang Khalik segera mengeluarkan ia dari batangnya agar secepatnya bisa menerima sinar Matahari pagi, demi memenuhi kewajibannya sebagai daun untuk berfotosintesis seperti kakak-kakaknya. Begitupun aku yang mulai duduk di depan laptop di awal tahun 2013 ini untuk menulis dalam sebuah blog.

Tanaman yang dinamakan Kemangi mungkin saja tak bernama Kemangi kalau bukan karena hanya bisa dirasakan di hidung namun bisa dirasakan di lidah ketika aromanya muncul dalam setiap masakan seperti kuah ikan atau sambal oleh ibu-ibu di dapur.
Di atas Batu Kubur (Makam orang Sumba)
Seperti halnya aku, spirit untuk menulis dalam blog tentang cerita hal menarik mungkin tak beraroma seperti Kemangi kalau bukan karena dorongan spirit Sahabatku serta beberapa Blog Traveler.


Tentu saja seperti Kemangi yang bisa membaui setiap menu masakan aku juga sama akan membaui setiap netters dengan segala cerita yang kuanggap menarik dari panorama alam, cerita budaya, sosok inspirasi dan lainnya yang mungkin terlewatkan dan dirasa biasa oleh mata kita.
Semoga saja semangatku ini tak layu dan tak lekang oleh waktu, bagai Kemangi kekurangan air ketika memasuki musim panas, namun aromanya tetap memberi ispirasi lewat tulisan kreatif dalam blog ini. Salam!Ignas Kunda