Tuesday 18 April 2017

WUYA 3

cerpen by
Yongky H. Suaryono

Di dusun kecil di dekat hutan Hawundu ada seorang pemuda bernama Kandjali, pemuda tangguh dan pemberani. Sebagian orang menganggap dia adalah pemburu buaya. Beberapa kali Kandjali berhasil menaklukkan buaya di sungai Kamba. Ia selalu ditemani oleh si kembar Windi dan Wanno. Khabar beredar, mereka bertigalah yang pernah sampai di danau Tenawuya di tengah hutan Hawundu.


Lodu sang jurnalis televisi hari ini menemui Kandjali. Untuk sampai di dusun dekat hutan Hawundu ia harus berjalan kaki lebih dari setengah jam. Tekadnya sebagai jurnalis ingin meliput Kandjali sebagai profile penakluk buaya. Bukan hanya itu, terlebih ia ingin membawa pesan Apu Liawa untuk Kandjali.
Rumah panggung berjajar setengah lingkaran, ada tujuh rumah berbentuk sama. Atap alang tinggi menjulang, lantai panggung satu meter di atas tanah berbahan kayu dan bambu. Pagar batu mengelilingi tujuh rumah tersebut. Di bagian tengah berdiri tiga kubur masing-masing dihiasi batu lempeng besar disanga empat tiang batu. Ada -penji- di salah satu kubur. Berupa ukiran batu setinggi tiga meter berbentuk simbol-simbol etnik Sumba. Pintu palang dari balok kayu tepat ada di sisi tengah pagar. Kandjali tinggal di situ di antara tujuh keluarga.
Satu rumah sedikit berbeda, dua tiang depan tergantung kulit buaya kering. Itu rumah Kandjali, ia tinggal bersama Urru istrinya. Mereka belum dikaruniai anak. Si kembar Windi dan Wanno tinggal bersebelahan rumah.


Lodu disambut Kandjali, mereka duduk di bale-bale, Windi dan Wanno menyiapkan sirih pinang dan kopi untuk menyambut Lodu. Mereka membicarakan fenomena munculnya buaya sampai ke pemukiman warga. Juga, membicarakan danau Tenawuya di tengah hutan Hawundu.
Kandjali bercerita:
"Tenawuya setengah hari dari sini. Masuk dari timur di balik bukit. Menyisir hutan, ada pohon 'injiwatu' paling tinggi dari situ kita dapat jurang turun harus pakai tali. Ketemu kali kecil ikut sudah sampai di atas. Tenawuya sebenarnya bukan danau, itu adalah kolam dari hasil curahan air terjun".
"Apa nama air terjun itu?", tanya Lodu
"Itu sudah, ada yang bilang Puruwai, ada yang bilang Janggawai, ada lagi yang bilang Nda Ngara atau tak bernama. Tempatnya memang bagus, air terjun setinggj dua pohon kelapa, jatuh pecah menjadi tiga curahan. Di bawah yang dibilang Tenawuya itu di kelilingi batu-batu besar. Airnya bening kebiru-biruan. Ada cerukan kecil di pinggir kolam, itu sarang buaya. Makanya dorang bilang itu Tenawuya".
"Nyummu punya fotonya?", tanya Lodu.
"Kakak e, kita orang kampung mana tau itu barang 'besi bodo', kalau kakak mau, pas purnama kita pergi ke sana", jawab Kandjali.
"Hehe, maaf. Sudah berapa kali ke sana?"
"Baru sekali, itu juga karena kami tersesat mencari kuda kami yang terlepas", timpal Windi.
Lodu, mengecek camera handycame-nya, memastikan camera merekam pembicaraan mereka. Dalam hatinya semakin penasaran terhadap keberadaan Tenawuya. Kandjali, Windi dan Winnu, menggambarkan keindahan tempat itu, sekaligus keangkeran tempat yang belum banyak diketahui orang.
Sosok Kandjali juga menjadi menarik dengan semua cerita-cerita heroik keberhasilan mereka menaklukkan buaya dan hutan Hawundu. Di lengan Kandjaii ada gelang dari rangkaian gigi buaya. Beberapa tatto memenuhi lengan kanan dan kaki kanannya. Gambar-gambar etnik simbol buaya, kuda, udang, anjing, ayam dan kura-kura.
Rambu Uru keluar membawa nampan berisi jagung rebus dan babi panggang. Kopi kedua dengan gelas besar kembali juga dihidangkan.
"Mai ta unu wai", ajak Kandjali.
Setelah cukup lama, Lodu berpamitan untuk pulang. Sebelumnya ia menyampaikan pesan bahwa Apu Liawa dari Kampung Muara meminta supaya Kandjali menemuinya. Kandjali pun setuju dan merasa terhormat atas undangan tersebut. Lodu diantar Windi dan Wanno sampai tempat ia mwnyimpan motor.
----00----
Pagi-pagi sebelum matahari terbit Kandjali bersiap ke Kampung Muara. Berbekal sekantong sirih pinang dan tembakau kunyah untuk Apu Liawa. Ia menempuh jalan lewat sungai Kamba. Windi dan Wanno ikut menemani. Sampan disiapkan.
Melewati sungai, perjalanan mereka cukup memakan.waktu lama. Tepat matahari terbit mereka baru sampai di kampung muara. Sepagi itu kehidupan di Kampung Muara sudah mulai riuh. Nampak beberapa kaum perempuan mengurus hewan piaraan, sebagian sudah mempersiapkan peralatan tenun kain. Sebagian sibuk di dapur. Sementara kaum lelaki yang baru turun melaut menurunkan hasil tangkapan mereka.
Kandjali disambut beberapa lelaki Muara. Apu liawa sudah menunggu, kedatangan-nya. Mereka duduk di bale-bale rumah Apu Liawa. Bawaan Kandjali diserahkan sebagai oleh-oleh.
Apu Liawa membuka pemberian itu, lalu mengajak mereka untuk menikmati sirih-pinang. Tak ada warga Kampung Muara yang ikut dalam perbincangan mereka, semua sudah maklum Apu Liawa tak suka ada yang ikut campur urusannya.
Apu Liawa masuk ke dalam rumah mengambil sesuatu dalam balutan kain hitam. Benda itu diletakkan dihadapan Kandjali, Windi dan Wanno.
"Bunggah, mangu-nggau nyummu heana", kata Apu Liawa.
Ragu-ragu Kandjali membuka benda tersebut. Tak tau benda apa sebenarnya. Hatinya bergetar, darahnya mengalir cepat. Sebilah tombak bermata dua. Maka terbelalaklah mata ketiga orang yang dikenal sebagai penakluk buaya itu. Tombak milik kandjali. Lalu Kandjali menatap kening Apu Liawa, ada bekas luka yang tertutup ampas sirih pinang yang mengering.
Seperti tau apa yang menjadi keheranan mereka, Apu Liawa menjelaskan panjang lebar.
"Nyimmi tau, saya terjatuh waktu orang ramai-ramai mengejar buaya di sungai Kamba. Saya menemukan tombak ini nyangkut di bawah pohon besar. Marapu memberi pesan hanya nyimmi yang bisa menaklukkan buaya Kamba. Pindahkan ke Tenawuya, nyimmi tau jalan ke sana".
"Kasih tau ke orang-orang, alam di sana sedang panas. Matahari tidak terbit saat ayam berkokok, hujan turun tanpa guntur. Padi tumbuh tak sampai menguning. Air mengalir meluap penuh lumpur. Ternak mati tanpa sebab. Semua berubah dalam waktu singkat. Langit sedang murung oleh asap manusia. Tanah sedang sedih oleh tangan manusia. Ama Mbokul-Ina Mbokul Miri la ditangu, bersedih atas semua perilaku kita melukai langit dan bumi".
"Belalang akan datang menyerang ladang. Wuya datang sebab hutan dan sungai tak lagi memberi mereka makan. Jangan pernah bakar ladang, jangan pernah meracuni sungai. Jangan pernah melukai bumi dengan sembarang. Air dan besi di tanah kita, amahu yang harus kita jaga".
"Kalau nyiimmi memindahkan apu-wuya, tunggu dua hari lagi. Temui di kelokan kedua sungai Kamba tepat di bawah pohon besar. Tunggu saat Matahari tepat di atas kepala. -Pitinja kataka tana, hondu wangu liku, tiwalunja la ditangu luku. Hau la ditang, hau la wawa-. Itu cara yang kalian lupa, siapkan hamayang biar Marapu merestui kalian".
Ketiga kelaki pemburu buaya hanya mengangguk-angguk merespon cerita Apu Liawa. Mereka paham bahwa perkataan Apu Liawa sebagai wejangan tak terbantahkan. Namun, rasa heran, kagum dan segan tak bisa ditutupi dari ketiga lelaki tersebut terhadap sosok Apu Liawa.
Selain memberikan tombak milik Kandjali dalam balutan kain hitam, Apu Liawa juga memberi kepada mereka masing-masing satu keping pinang kering dan sepotong sirih wangi dengan pesan: "Nganguwa ndapa kapu".
Sebelum mereka pamit pulang, Apu Liawa sudah lebih dulu menyuruh mereka segera pulang.
"Sekarang kalian pulanglah. Kalau melewati kelokan kedua sungai Kamba, tinggalkan sesuatu untuk -mereka-".
Apu Liawa mengantar mereka naik ke sampan. Ia masih sempat memegang tangan kanan Kandjali, mereka memiliki tatto yang sama. Sekantong serpihan cendana dalam kantong putih disipkan oleh Apu Liawa ke -halopa- Kandjali. Lalu ia membisikan sesuatu ke telinga Kandjali;
"..............."
Sampan sudah bergerak hendak meninggalkan Kampung Muara. Kandjali, Windi, Wanno melambaikan tangan. Apu Liawa membalas lambai mereka, tangan kanan ke atas dan jari telunjuk ke atas; " Ambu maruamba, ba wana-nggu la i nyimmi"
----00----
Tiga lelaki perkasa pemburu buaya, menyisir sungai Kamba untuk kembali ke dusun mereka di dekat hutan Hawundu. Di atas sampan kecil, Windi memegang kayuh di depan, Wanno mengayuh dari belakang. Kandjali duduk di tengah sampan. Matahari sedikit condong ke arah barat saat mereka sampai di kelokan ke dua di pohon besar.
Mereka memutuskan istirahat sejenak di situ, menepi di sisi kiri. Kandjali terbayang kejadian kemarin waktu mayat Ngguli ditemukan. Teringat saat tombaknya menancap di kepala buaya putih. Semua kejadian itu silih berganti melintas di angannya. Ia berusaha menangkap semua pesan Apu Liawa. Bayang-bayang wajah Apu Liawa juga seperti mengikutinya selalu.
"Apa yang harus kita tinggalkan di sinj?", Wanno menyadarkan Kandjali dari lamunan.
Sirih pinang tanpa kapur, tombak bermata dua, sekantong serpihan cendana, parang yang selalu terselip di pinggang. Kandjali bingung apa yang harus ditinggalkan di bagian sungai yang paling dalam ini. Windi dan Wanno tak punya usulan, kata-kata Apu Liawa sepertinya sulit diartikan. Akhirnya Kandjali melepas gelang di lengannya. Untaian gigi buaya itu dililitkan di batu lalu dilempar ke tengah sungai. Sedikit cendana dibakar di bawah pohon besar, lalu mereka melanjutkan perjalanan.
Sungai Kamba dulu memang terkenal sebagai sarang buaya. Sudah puluhan tahun tak terlihat atau ditemukan buaya ada di sana. Tapi belakangan berita buaya sering terlihat dan muncul di Kamba. Banyak ternak hilang misterius, bahkan buaya kini mengancam keselamatan warga. Waspada.
Waingapu, 09 April.2017
( Hanya sebuah CERPEN, di-dedikasikan bagi masyarakat Sumba Timur)
Catatan:
Mai ta unu wai : arti harfiahnya adalah mari kita minum air. Maksudnya sebagai ajakan untuk makan.
Bunggah, mangu-nggau nyummu : Bukalah, ini milikmu.
Pitinja kataka tana, hondu wangu liku, tiwalunja la ditangu luku. Hau la ditang, hau la wawa : Ambilah cangkul, ikat dengan tali gantung di atas sungai. Satu di atas satu di bawah.
Nganguwa ndapa kapu: makanlah tanpa kapur.
Ambu maruamba ba wana-nggu.la i nyimmi: Jangan lupa apa yang sudah kukatakan pada kalian.
Ama Mbokul-Ina Mbokul, Miri la ditangu: Maha Bapa- Maha Ibu , Tuhan di langit: penggambara tentang Tuhan
Marapu: Kepercayaan asli Sumba Halopa: ikat pinggang
Amahu: emas
Nyungga: saya
Nyummu: kamu
Nyuna: dia
Nyumma: kami
Nyimmi: kalian
Nyuda: mereka
Nyuta: kita
(Yang di tag : feel free to delete)

No comments:

Post a Comment