cerpen by
Yongky H. Suaryono
Semalam aliran sungai di bawah jembatan menebar bau busuk bangkai. Orang-orang di sekitar muara mengutuk bahwa ada yang membuang bangkai dari kampung atas. Air sungai meluap, dari malam hujan belum reda hingga subuh. Dan subuh ini kegaduhan kembali terjadi di kampung muara, warga menemukan mayat tergeletak di pinggir muara.
Bau busuk membuat warga bangun lebih awal. Sekalipun hujan turun cukup deras, angin kencang merobohkan pepohonan, tetap saja, secara spontan warga sudah berkumpul di muara. Seorang ibu menyerobot diantara kumpulan, memastikan mayat siapa yang tergeletak di sana?
Segera para lelaki memindahkan mayat ke bale-bale rumah ketua kampung Muara. Kerumunan warga kian membuat gaduh dengan berbagai asumsi sebab musabab tewasnya orang di pinggir muara. Hujan masih deras mengguyur. Sepagi itu semua sudah terjaga dari tidur. Ini kali ketiga, ada orang mati di pinggir muara.
Perempuan tua yang sedari tadi tak bisa diam, terus mengikuti sampai mayat dibaringkan di bale-bale. Liawa, nenek Liawa perempuan kampung Muara yang disegani. Satu-satunya pewaris Ndeawa Ana Wuya, legenda Kampung Muara yang konon ceritanya memiliki ilmu sangat tinggi dan mampu berkomunikasi dengan buaya.
Bisik-bisik warga kampung malah mencurigai Liawa sebagai suanggi. Tapi siapa berani mengatakan itu? Kebaikan Liawa tak terbantahkan, ia selalu yang pertama berani mengatasi kegaduhan yang terjadi di kampung Muara. Bahkan semua warga juga tau Liawa mampu mengobati berbagai penyakit hanya dengan ramuan-ramuan berbahan belukar dari tepi muara.
Kini bukan menanti instruksi Kepala Kampung , warga justru menanti apa yang dikatakan Liawa untuk mengatasi situasi-situasi seperti ini. Biar bagaimana kedudukan tetua adat masih jauh lebih dihormati dari pada aparat kampung.
Liawa mengamati mayat yang tergeletak di bale-bale rumah Kepala Kampung. Hujan masih deras mengguyur, langit gelap, tak ada suara tangis. Semua warga sudah memastikan kekuarga mereka lengkap. Mayat itu bukan warga Kampung Muara.
Kondisi mayat sangat mengenaskan, seluruh tubuhnya tercabik-cabik, darah mengucur di mana-mana. Wajahnya membiru penuh luka nyaris tak dikenali. Sebelah kakinya bahkan nyaris putus. Segera Liawa menyiram segenggam kapur lalu menutup tubuh mayat dengan selembar hinggi. Liawa komat-kamit seperti membaca sesuatu, entah itu doa atau mantra. Semua orang terdiam.
Nenek Liawa kian keras membaca mantra, sejenak bahkan seperti kesurupan lalu berteriak :
" haaaaayeyauwu,...heayauwu... yeauwu...mbana....wuya.....wai....mbana....wuya...wai...tau ditangu....tau...ditangu...mbana....wuya...wai......."
" haaaaayeyauwu,...heayauwu... yeauwu...mbana....wuya.....wai....mbana....wuya...wai...tau ditangu....tau...ditangu...mbana....wuya...wai......."
Berulang-ulang semakin keras Liawa berteriak merapal kata yang sama, kemudian ia rebah tepat di samping mayat. Kepala Kampung memberikan minum air kelapa dari wadah tempurung. Liawa segar kembali. Warga menunggu apa yang hendak dikatakan Liawa.
"Haromu ta hamayangu la karahana mananga. Heana tau weling paraing ditangu"
"Buaya muara murka memangsa manusia. Bumi semakin panas, angin tak menentu arah . Air melimpah dari segala arah. Darah, tanah, api, air berputar tak lagi se-arah. Hujan dan panas berebut waktu. Panas dan dingin membuat semua makhluk berubah bentuk".
"Jauhi muara, jangan sembarang meobohkan kehidupan darat. Jangan serakah meraup kehidupan air. Ambu piti manguna hawiang, malawa tayapa kariangu. Ndaba mbulungu la pinu tana, napa ana da nyuta nama mangu-da".
"Buaya muara murka memangsa manusia. Bumi semakin panas, angin tak menentu arah . Air melimpah dari segala arah. Darah, tanah, api, air berputar tak lagi se-arah. Hujan dan panas berebut waktu. Panas dan dingin membuat semua makhluk berubah bentuk".
"Jauhi muara, jangan sembarang meobohkan kehidupan darat. Jangan serakah meraup kehidupan air. Ambu piti manguna hawiang, malawa tayapa kariangu. Ndaba mbulungu la pinu tana, napa ana da nyuta nama mangu-da".
Belum selsesai Liawa menyampaikan sesuatu, muncul dua orang polisi bersama beberapa warga dari Kampung Atas. Mereka mencari Ama, warganya yang menghilang sejak memancing semalam di kali. Tas dan alat pancing tertinggal di pinggir kali. Mereka kuatir Ama tergelincir ke sungai dan terseret banjir. Beberapa hewan piaraan juga sempat hilang. Warga Kampung Muara dan Kampung Atas sempat saling curiga.
Ternyata setelah diamati oleh petugas polisi, mayat yang di temukan di Kampung Muara sesuai dengan identitas Ama. Hujan sudah reda, Matahari pagi juga sudah menampakkan diri. Maka, segera dibawalah mayat Ama kembali ke Kampung Atas, warga Muara, termasuk Liawa turut mengantar.
Di tengah jalan rombongan terhenti di dekat jembatan. Warga berkerumun menyasikan tiga ekor buaya muncul di bawah jembatan. Liawa menghilang entah kemana....
Waingapu, 4 April 2017
No comments:
Post a Comment