Tuesday 18 April 2017

WUYA 4

cerpen by
Yongky H. Suaryono

Malam ini Purnama bulat sempurna meski di sisi barat langit terlihat mendung hitam berarak pelan. Bahkan guntur sesekali meggelegar dalam gulungan panjang. Dari kampung Praikudu di dekat hutan Hawundu langit menampakkan dua kontradiksi sangat mencolok terang di timur gelap di sisi barat.
Anjing melolong tak henti-henti. Hewan di kandang ribut dengan suara masing-masing. Kuda meringkik bagai dikejar singa, babi sekandang ribut seperti berebut makan. Ayam bekeok-keok bagai musim birahi. Malam menjadi bagian alam yang paling mencekam. Sunyi namun gemuruh, gelap namun benderang.

Praikudu kampung kecil di dekat hutan Hawundu, kampung para pemberani. Sebut saja Kandjali, si kembar Windi dan Wanno, mereka bertiga terkenal sebagai pemburu buaya. Masih ada Lidjang sang pemanjat yang juga piawai memainkan musik -jungga-. Padjaru sang penjinak hewan liar. Randja sang pandai besi yang piawai memainkan parang, tombak dan belati. Serta Njurumana yang paling dituakan di Praikudu sebagai pemangku jabatan Wunang.
Malam ini mereka berkumpul di bale-bale rumah Njurumana. Di malam.yg terasa janggal, mereka membicarakan perihal rencana mencari cara menangkap buaya di Sungai Kamba Kampung Atas. Tiga orang tetua dari kampung atas turut hadir di sana, Mbadi, Djima dan Landu.
"Kami menghadap kakak di sini mewakili warga Dusun Limba Kampung Atas. Hanya kepada kakaklah kami berharap. Kami sangat resah buaya putih semakin sering naik membahayakan warga. Buaya putih harus dimusnahkan demi membayar nyawa saudara kami Ngguli", Landu mengawali pembicaraan.
"Baik, kami terima kedatangan nyimmi dari Kampung Atas sebagai saudara bersaudara, maka kita wajib saling menolong. Namun perihal apu (wuya) biarlah sekiranya berkenan kami atasi sebagaimana kami memperlakukan apu. Benar bahwa demi membayar kematian saudara Nggulj, wajib kita 'dinginkan' denga darah buaya yang telah 'memanaskan' kepergiannya. Namun apu mana yang telah melakukan itu? Benarkah -apu bara- pelakunya? Atau haruskah kita bunuh semua apu di sungai Kamba?", balas Njurumana.


Landu, Mbadi dan Djima terdiam sejenak. Bahwa ketika Njurumana menyebut buaya dengan sebutan apu, ini adalah pertanda pihak Njurumana sangat menghargai buaya sebagai perwujudan hewan yang harus dihormati bahkan mereka masih kukuh menganggap sebagai sebagai perwujudan Marapu. Maka meminta mereka membunuh buaya putih sama saja menentang dan menabuh genderang permusuhan. Namun dendam kesumat terhadap nyawa Ngguli harus terbayar. Di sisi lain untuk menjaga keselamatan warga Kampung Atas, buaya-buaya harus dijauhkan dari sungai.
Landu ada di simpang kebimbangan.
"Apa pertimbangan kakak-kakak sehingga wuya bara tak perlu dibunuh?", kata Landu.
"Apu Liawa" , jawab Njurumana.
"Apu Liawa dari Kampung Muara?, sergah Djima.
"Jadi semua ini karena ulah nenek misterius itu?", tanya Landu
"Apu Liawa suangg", gumam Djima.
"Kami sudah menduga dia suanggi" , sahut Mbadi
" Dia suanggi!" timpal Djima.
"Sabar, nyimmi jangan omong sembarang. Tak baik kita saling tuduh" , balas Nurumana.
"Kalau bukan dia siapa lagi?" , tanya Landu dengan nada suara emosi.
"Buaya tetaplah buaya. Kita hormati sebagai apu yang dikeramatkan. Janganlah kita saling tuduh tanpa alasan. Supaya nyimmi tau, justru Apu Liawa yang memberikan petunjuk bagaimana harus menangkap -apu bara-. Mari kita belajar saling menghargai" , kata Kandjali berusaha menenangkan Landu.
"Sekarang terserah nyimmi saja", kata Njurumana ditujukan pada Landu dan teman-teman-nya.
Pembicaraan kian memanas, sebagai tamu di kampung orang, Landu tak bisa menyerang sikap orang-orang Praikudu. Kini keputusan ada di tangan-nya, apakah menyerahkan masalah buaya ini kepada orang-orang Praikudu atau bertindak sendiri bersama warga Kampung Atas. Pemerintah dalam hal ini juga terkesan hanya mengunggu, baru bertindak bila ada korban. Meminta bantuan Warga Kampung Muara juga terasa sulit sebab bibit saling curiga sebagai penyebab munculnya buaya-buaya Kamba sudah makin memanas sejak ditemukan mayat korban buaya di Kampung Muara.
Warna langit Praikudu masih sama. Di sisi timur Purnama masih benderang. Sementara awan gelap di sisi barat sepertinya sudah berubah menjadi butiran air. Hewan-hewan tak lagi kegerahan. Tak terdengar lagi ringkik kuda, keok ayam dan babi menguik. Apakah ini sebagai pertanda titik terang sudah ditemukan di antara pembicaraan mereka?
---00---
Di rumah duka Dusun Limba Kampung Atas, jasad Ngguli masih dibaringkan di bale-bale dan belum dibawa ke uma mbokul. Dibungkus hinggi berlipat-lipat tebalnya. Ridja dan Rambu Awa bersimpuh di samping jasad sang suami dan ayah. Angan Ridja mengejar bayang- bayang saat bersama membesarkan Rambu Awa. Keinginan kelak akan menyekolahkan anak semata wayang ke kota, cita-cita sederhana. Karena tekad itulah segala macam pekerjaan dijalani Ngguli demi cita-citanya.
Malam sebelum kepergian Ngguli ke tepi Sungai Kamba ia berpesan kepada sang istri.
"Hewan kita tak banyak. Apa pun keadaanya jangan korbankan demi adat. Biar itu jadi tabungan buat sekolah si Awa. Aku akan pergi memancing, biar kita dapat ikan, biar janin diperutmu memperoleh makanan yang bergisi. Orang bilang, makan ikan akan membuat otak janin dan anak jadi lebih pintar. Biar anak-anak kita menjadi anak yang cerdas".
Airmata Ridja tak terbendung begitu teringat pesan sang suami. Petaka seakan membuyarkan semua mimpi. Firasat-firasat apa yang dialami sebelum petaka ini datang? Ridja mengingat dalam deretan kenangan. Ngguli yang selalu mengelus perutnya sebelum tidur dan berbicara pada si jabang bayi. Menyanyikan syair-syair tentang delapan lapis langit. Mengukir mamoli dari uang koin kuno untuk Rambu Awa. Apakah semua itu pertanda bahwa ia akan pergi meninggalkan dua buah hatinya?
Bahkan Ngguli juga sempat mengukir -watu penji- , yang katanya akan dia jual untuk mempersiapkan kelahiran anak keduanya. Siapakah yang bisa mengira, ternyata Ngguli telah mempersiapkan -watu penji- untuk dirinya sendiri. Tuhan mengatur hidup orang sesuai garis kehidupan, kita berusaha meski kehendak Tuhan selalu akhirnya yang lebih menentukan.
Di rumah duka, setiap hari silih berganti orang dari berbagai penjuru ikut berbela sungkawa. Ridja dan anaknya Rambu Awa menjaga jasad ayah satu anak ini dalam suasana duka yang mendalam. Dua kali -hamayang pamaringu-, belum juga didapat pentunjuk dari leluhur mengenai kapan jasad Ngguli akan dimakamkan. Gong duka masih terus ditabuh, syair-syair Ludu Pamalungu dinyanyikan sebagai wujud duka-lara atas kepergian Ngguli.
Belum kering air mata, keluarga almarhum Ngguli akan terus disibukan dengan kompromi balas-membalas bawaan kaum kerabat. Siang ini keluarga dekat pihak -anakawini-. dari -kabihu Lau Tidihau datang membawa -dangangu meti- seekor kerbau -mandapa-. Ditambah tiga ekor babi sedang, gula, kopi dan beras sebagai bawaan -dangangu luri-. Wunang penyambut menerima kerabat dari Lau Tidihau, dan menyiapkan hidangan serta 'balasan' yang setimpal dengan bawaan tersebut. Empat lembar -hinggi- terbaik telah dipersiapkan untuk Kerabat anakawini. Selama masa berkabung dan sebelum jasad dimakamkan, pemandangan seperti ini akan terus mewarnai kesibukan di rumah duka.
---00---
Dusun Limba Kampung Atas dirundung duka, buaya sungai Kamba masih terus dikejar. Dendam kesumat bagai tak terelakkan, segala upaya ditempuh demi menangkap sang buaya.
Satu buaya kecil tertangkap. Warga dari berbagai penjuru dan dari kota turut beramai-ramai melongok ke dusun Limba Kampung Atas. Rasa simpatikah yang mereka berikan? Atau justru sebagian besar malah terjebak pada perilaku kekinian yang kadang jauh dari arti simpati?
Di sana, petak-petak kebun di tepi sungai sebagian rusak terinjak oleh orang-orang yang antusias melihat penangkapan buaya. Kegaduhan tentang buaya menjadi magnit banyak orang untuk memuaskan rasa penasaran. Sebagian orang ingin menunjukkan simpati dan belasungkawa.
Namun rasa belasungkawa dan simpati kadang malah tak ber-empati. Menyita rutinitas normal warga dusun demi kehebohan. Mengungkit-ungkit petaka. Menyalahkan alam sebagai sebuah kutukan, tapi lupa bahwa alam hanyalah wujud keseluruhan sinerginitas dari berbagai unsur.
Dalam Tatanan Marapu, dibagi tiga ruang alam; Tana Dita, Walu Ndani -(Alam Atas Delapan Tingkat). Tana Padua, Ina Tanangu- Ama Lukungu (Alam Tengah: Ibu - Bapa). Tana Wawa- Walu Ndani (Alam Bawa, Delapan Tingkat). Buaya, kita dan sungai adalah bagian dari makrokosmos kehidupan yang saling berkaitan
Mungkin saja Ngguli memanglah korban petaka buaya Kamba. Mungkin saja Ngguli adalah bagian dari suratan yang harus digenapi dalam kitab kehidupan. Namun lebih dari itu semua, Ngguli adalah monumen yang memberi kita jeda waktu untuk sejenak menatap ke langit.
--Mata Tuhan ada di segala tempat.
Ada waktu untuk lahir,
ada waktu untuk meninggal,
ada waktu menanam,
ada waktu untuk mencabut.
Ada waktu untuk menangis,
ada waktu untuk tertawa,
ada waktu untuk meratap,
ada waktu untuk menari
Segala sesuatu ada waktunya
Tapi tak ada sesuatu,
mampu menahan waktu--
Waingapu, 12 April.2017
( Hanya sebuah CERPEN, di-dedikasikan bagi masyarakat Sumba Timur)
Catatan:
Apu: nenek, sbgian org Sumba mengganggap buaya adlh nenek.
Wunang: juru bicara
Bara: putih
Suanggi: manusia siluman
Nyimmi: kalian
Hamayang Pamaringu: sembayang pendinginan, dimaksudkan sbg doa utk harkat/jiwa atas kematian yang tak wajar
Dangangu luri :makanan hidup dimaksudkan sbg bawaan/sumbangan utk keluarga duka
Dangangu meti: makanan mati dimaksudkan sbg bawaan/sumbangan utk kurban.
Kerbau mandapa : kerbau jantan bertanduk panjang.
Ludu Pamalungu: nyanyian kesedihan
Watu penji: batu kubur
(tag : feel free to delete)

WUYA 3

cerpen by
Yongky H. Suaryono

Di dusun kecil di dekat hutan Hawundu ada seorang pemuda bernama Kandjali, pemuda tangguh dan pemberani. Sebagian orang menganggap dia adalah pemburu buaya. Beberapa kali Kandjali berhasil menaklukkan buaya di sungai Kamba. Ia selalu ditemani oleh si kembar Windi dan Wanno. Khabar beredar, mereka bertigalah yang pernah sampai di danau Tenawuya di tengah hutan Hawundu.


Lodu sang jurnalis televisi hari ini menemui Kandjali. Untuk sampai di dusun dekat hutan Hawundu ia harus berjalan kaki lebih dari setengah jam. Tekadnya sebagai jurnalis ingin meliput Kandjali sebagai profile penakluk buaya. Bukan hanya itu, terlebih ia ingin membawa pesan Apu Liawa untuk Kandjali.
Rumah panggung berjajar setengah lingkaran, ada tujuh rumah berbentuk sama. Atap alang tinggi menjulang, lantai panggung satu meter di atas tanah berbahan kayu dan bambu. Pagar batu mengelilingi tujuh rumah tersebut. Di bagian tengah berdiri tiga kubur masing-masing dihiasi batu lempeng besar disanga empat tiang batu. Ada -penji- di salah satu kubur. Berupa ukiran batu setinggi tiga meter berbentuk simbol-simbol etnik Sumba. Pintu palang dari balok kayu tepat ada di sisi tengah pagar. Kandjali tinggal di situ di antara tujuh keluarga.
Satu rumah sedikit berbeda, dua tiang depan tergantung kulit buaya kering. Itu rumah Kandjali, ia tinggal bersama Urru istrinya. Mereka belum dikaruniai anak. Si kembar Windi dan Wanno tinggal bersebelahan rumah.


Lodu disambut Kandjali, mereka duduk di bale-bale, Windi dan Wanno menyiapkan sirih pinang dan kopi untuk menyambut Lodu. Mereka membicarakan fenomena munculnya buaya sampai ke pemukiman warga. Juga, membicarakan danau Tenawuya di tengah hutan Hawundu.
Kandjali bercerita:
"Tenawuya setengah hari dari sini. Masuk dari timur di balik bukit. Menyisir hutan, ada pohon 'injiwatu' paling tinggi dari situ kita dapat jurang turun harus pakai tali. Ketemu kali kecil ikut sudah sampai di atas. Tenawuya sebenarnya bukan danau, itu adalah kolam dari hasil curahan air terjun".
"Apa nama air terjun itu?", tanya Lodu
"Itu sudah, ada yang bilang Puruwai, ada yang bilang Janggawai, ada lagi yang bilang Nda Ngara atau tak bernama. Tempatnya memang bagus, air terjun setinggj dua pohon kelapa, jatuh pecah menjadi tiga curahan. Di bawah yang dibilang Tenawuya itu di kelilingi batu-batu besar. Airnya bening kebiru-biruan. Ada cerukan kecil di pinggir kolam, itu sarang buaya. Makanya dorang bilang itu Tenawuya".
"Nyummu punya fotonya?", tanya Lodu.
"Kakak e, kita orang kampung mana tau itu barang 'besi bodo', kalau kakak mau, pas purnama kita pergi ke sana", jawab Kandjali.
"Hehe, maaf. Sudah berapa kali ke sana?"
"Baru sekali, itu juga karena kami tersesat mencari kuda kami yang terlepas", timpal Windi.
Lodu, mengecek camera handycame-nya, memastikan camera merekam pembicaraan mereka. Dalam hatinya semakin penasaran terhadap keberadaan Tenawuya. Kandjali, Windi dan Winnu, menggambarkan keindahan tempat itu, sekaligus keangkeran tempat yang belum banyak diketahui orang.
Sosok Kandjali juga menjadi menarik dengan semua cerita-cerita heroik keberhasilan mereka menaklukkan buaya dan hutan Hawundu. Di lengan Kandjaii ada gelang dari rangkaian gigi buaya. Beberapa tatto memenuhi lengan kanan dan kaki kanannya. Gambar-gambar etnik simbol buaya, kuda, udang, anjing, ayam dan kura-kura.
Rambu Uru keluar membawa nampan berisi jagung rebus dan babi panggang. Kopi kedua dengan gelas besar kembali juga dihidangkan.
"Mai ta unu wai", ajak Kandjali.
Setelah cukup lama, Lodu berpamitan untuk pulang. Sebelumnya ia menyampaikan pesan bahwa Apu Liawa dari Kampung Muara meminta supaya Kandjali menemuinya. Kandjali pun setuju dan merasa terhormat atas undangan tersebut. Lodu diantar Windi dan Wanno sampai tempat ia mwnyimpan motor.
----00----
Pagi-pagi sebelum matahari terbit Kandjali bersiap ke Kampung Muara. Berbekal sekantong sirih pinang dan tembakau kunyah untuk Apu Liawa. Ia menempuh jalan lewat sungai Kamba. Windi dan Wanno ikut menemani. Sampan disiapkan.
Melewati sungai, perjalanan mereka cukup memakan.waktu lama. Tepat matahari terbit mereka baru sampai di kampung muara. Sepagi itu kehidupan di Kampung Muara sudah mulai riuh. Nampak beberapa kaum perempuan mengurus hewan piaraan, sebagian sudah mempersiapkan peralatan tenun kain. Sebagian sibuk di dapur. Sementara kaum lelaki yang baru turun melaut menurunkan hasil tangkapan mereka.
Kandjali disambut beberapa lelaki Muara. Apu liawa sudah menunggu, kedatangan-nya. Mereka duduk di bale-bale rumah Apu Liawa. Bawaan Kandjali diserahkan sebagai oleh-oleh.
Apu Liawa membuka pemberian itu, lalu mengajak mereka untuk menikmati sirih-pinang. Tak ada warga Kampung Muara yang ikut dalam perbincangan mereka, semua sudah maklum Apu Liawa tak suka ada yang ikut campur urusannya.
Apu Liawa masuk ke dalam rumah mengambil sesuatu dalam balutan kain hitam. Benda itu diletakkan dihadapan Kandjali, Windi dan Wanno.
"Bunggah, mangu-nggau nyummu heana", kata Apu Liawa.
Ragu-ragu Kandjali membuka benda tersebut. Tak tau benda apa sebenarnya. Hatinya bergetar, darahnya mengalir cepat. Sebilah tombak bermata dua. Maka terbelalaklah mata ketiga orang yang dikenal sebagai penakluk buaya itu. Tombak milik kandjali. Lalu Kandjali menatap kening Apu Liawa, ada bekas luka yang tertutup ampas sirih pinang yang mengering.
Seperti tau apa yang menjadi keheranan mereka, Apu Liawa menjelaskan panjang lebar.
"Nyimmi tau, saya terjatuh waktu orang ramai-ramai mengejar buaya di sungai Kamba. Saya menemukan tombak ini nyangkut di bawah pohon besar. Marapu memberi pesan hanya nyimmi yang bisa menaklukkan buaya Kamba. Pindahkan ke Tenawuya, nyimmi tau jalan ke sana".
"Kasih tau ke orang-orang, alam di sana sedang panas. Matahari tidak terbit saat ayam berkokok, hujan turun tanpa guntur. Padi tumbuh tak sampai menguning. Air mengalir meluap penuh lumpur. Ternak mati tanpa sebab. Semua berubah dalam waktu singkat. Langit sedang murung oleh asap manusia. Tanah sedang sedih oleh tangan manusia. Ama Mbokul-Ina Mbokul Miri la ditangu, bersedih atas semua perilaku kita melukai langit dan bumi".
"Belalang akan datang menyerang ladang. Wuya datang sebab hutan dan sungai tak lagi memberi mereka makan. Jangan pernah bakar ladang, jangan pernah meracuni sungai. Jangan pernah melukai bumi dengan sembarang. Air dan besi di tanah kita, amahu yang harus kita jaga".
"Kalau nyiimmi memindahkan apu-wuya, tunggu dua hari lagi. Temui di kelokan kedua sungai Kamba tepat di bawah pohon besar. Tunggu saat Matahari tepat di atas kepala. -Pitinja kataka tana, hondu wangu liku, tiwalunja la ditangu luku. Hau la ditang, hau la wawa-. Itu cara yang kalian lupa, siapkan hamayang biar Marapu merestui kalian".
Ketiga kelaki pemburu buaya hanya mengangguk-angguk merespon cerita Apu Liawa. Mereka paham bahwa perkataan Apu Liawa sebagai wejangan tak terbantahkan. Namun, rasa heran, kagum dan segan tak bisa ditutupi dari ketiga lelaki tersebut terhadap sosok Apu Liawa.
Selain memberikan tombak milik Kandjali dalam balutan kain hitam, Apu Liawa juga memberi kepada mereka masing-masing satu keping pinang kering dan sepotong sirih wangi dengan pesan: "Nganguwa ndapa kapu".
Sebelum mereka pamit pulang, Apu Liawa sudah lebih dulu menyuruh mereka segera pulang.
"Sekarang kalian pulanglah. Kalau melewati kelokan kedua sungai Kamba, tinggalkan sesuatu untuk -mereka-".
Apu Liawa mengantar mereka naik ke sampan. Ia masih sempat memegang tangan kanan Kandjali, mereka memiliki tatto yang sama. Sekantong serpihan cendana dalam kantong putih disipkan oleh Apu Liawa ke -halopa- Kandjali. Lalu ia membisikan sesuatu ke telinga Kandjali;
"..............."
Sampan sudah bergerak hendak meninggalkan Kampung Muara. Kandjali, Windi, Wanno melambaikan tangan. Apu Liawa membalas lambai mereka, tangan kanan ke atas dan jari telunjuk ke atas; " Ambu maruamba, ba wana-nggu la i nyimmi"
----00----
Tiga lelaki perkasa pemburu buaya, menyisir sungai Kamba untuk kembali ke dusun mereka di dekat hutan Hawundu. Di atas sampan kecil, Windi memegang kayuh di depan, Wanno mengayuh dari belakang. Kandjali duduk di tengah sampan. Matahari sedikit condong ke arah barat saat mereka sampai di kelokan ke dua di pohon besar.
Mereka memutuskan istirahat sejenak di situ, menepi di sisi kiri. Kandjali terbayang kejadian kemarin waktu mayat Ngguli ditemukan. Teringat saat tombaknya menancap di kepala buaya putih. Semua kejadian itu silih berganti melintas di angannya. Ia berusaha menangkap semua pesan Apu Liawa. Bayang-bayang wajah Apu Liawa juga seperti mengikutinya selalu.
"Apa yang harus kita tinggalkan di sinj?", Wanno menyadarkan Kandjali dari lamunan.
Sirih pinang tanpa kapur, tombak bermata dua, sekantong serpihan cendana, parang yang selalu terselip di pinggang. Kandjali bingung apa yang harus ditinggalkan di bagian sungai yang paling dalam ini. Windi dan Wanno tak punya usulan, kata-kata Apu Liawa sepertinya sulit diartikan. Akhirnya Kandjali melepas gelang di lengannya. Untaian gigi buaya itu dililitkan di batu lalu dilempar ke tengah sungai. Sedikit cendana dibakar di bawah pohon besar, lalu mereka melanjutkan perjalanan.
Sungai Kamba dulu memang terkenal sebagai sarang buaya. Sudah puluhan tahun tak terlihat atau ditemukan buaya ada di sana. Tapi belakangan berita buaya sering terlihat dan muncul di Kamba. Banyak ternak hilang misterius, bahkan buaya kini mengancam keselamatan warga. Waspada.
Waingapu, 09 April.2017
( Hanya sebuah CERPEN, di-dedikasikan bagi masyarakat Sumba Timur)
Catatan:
Mai ta unu wai : arti harfiahnya adalah mari kita minum air. Maksudnya sebagai ajakan untuk makan.
Bunggah, mangu-nggau nyummu : Bukalah, ini milikmu.
Pitinja kataka tana, hondu wangu liku, tiwalunja la ditangu luku. Hau la ditang, hau la wawa : Ambilah cangkul, ikat dengan tali gantung di atas sungai. Satu di atas satu di bawah.
Nganguwa ndapa kapu: makanlah tanpa kapur.
Ambu maruamba ba wana-nggu.la i nyimmi: Jangan lupa apa yang sudah kukatakan pada kalian.
Ama Mbokul-Ina Mbokul, Miri la ditangu: Maha Bapa- Maha Ibu , Tuhan di langit: penggambara tentang Tuhan
Marapu: Kepercayaan asli Sumba Halopa: ikat pinggang
Amahu: emas
Nyungga: saya
Nyummu: kamu
Nyuna: dia
Nyumma: kami
Nyimmi: kalian
Nyuda: mereka
Nyuta: kita
(Yang di tag : feel free to delete)

WUYA 2

cerpen by
Yongky H. Suaryono

"Ndewa Ana Wuya, lengenda Kampung Muara itu konon khabarnya adalah perwujudan Dewa Buaya yang memiliki kesaktian dan kekuatan setara seratus ekor buaya. Pada jaman Belanda ia pernah dihukum tembak oleh pasukan kompeni. Mayatnya dibuang ke laut. Namun selang beberapa hari Ndewa muncul kembali di rumahnya, biasa-biasa saja, seperti tidak pernah terjadi apa-apa".
"Ada yang menggambarkan bahwa sosok Ndewa adalah, tinggi, berambut ikal, kulitnya hitam dan bersisik seperti buaya. Kemampuannya menaklukkan buaya tak ada satu yang mampu menandingi. Anehnya tak pernah ia membunuh se-ekor pun buaya-buaya yang ditaklukkan. Setelah menangkap pasti akan ia lepas kembali di danau Tenawuya di tengah hutan Hawundu. Hutan lebat yang terkenal angker dan tak sembarang orang berani masuk ke sana".


"Menir Heyt, seorang controler Belanda wilayah Sumba pernah menduga kemungkinan Ndeawa adalah lelaki Chambri-Papua yang dipekerjakan oleh saudagar barat sebagai budak. Kapal saudagar tersebut tenggelam dan Ndewa terdampar di muara Kampung Muara. Namun itu hanyalah catatan yang tak pernah diakui. Warga lebih mempercayai bahwa Ndewa adalah titisan dewa buaya yang 'dirurunkan' di Muara".
"Satu-satunya turunan legenda Ndewa Ana Wuya hanyalah Apu Liawa, nenek misterius yang memiliki kemampuan berkomunikasi dengan buaya dan tinggal sebatang kara di Kampung Muara. Apu Liawa, satu-satunya perempuan yang bisa menjadi pemangku adat dan berhak memimpin hamayangu".
(Lelaki renta berdarah Kodi ini menjelaskan perihal Legenda Kampung Muara secara detail. Ia bercerita sambil terus menumbuk sirih pinang di 'tuku' dari tanduk kerbau)
----00----
Hari ini setelah tiga kali mayat ditemukan dan satu yang masih hilang di muara, maka warga dari dua kabihu menggelar Hamayang Pamaringu secara besar-besaran. Sesaji dipersiapkan, gong tambur ditabuh sepanjang hari. Dua ekor kuda dipersiapkan sebagai korban. Seorang -ama mbokul- tetua adat, menari-nari dengan iringan tambur merobohkan hewan kurban dalam satu kibasan parang.
Apu Liawa menyiapkan -uhu mangejing- segenggam nasi dalam wadah tempurung, ada sirih pinang dan seekor ayam jantan. Darah dikucurkan ke bumi sebagaimana titah Marapu. Keseimbangan alam dan manusia didamaikan lewat penyucian darah. Perjanjian darah kepada leluhur untuk setiap bencana yang dianggap mulai tidak teraturnya keseimbangan alam. Titah Marapu dibaca lewat setiap guratan pertanda pada jantung kuda dan tali perut ayam.
Membaca tanda dalam upacara hamayang, biasanya dilakukan oleh pria yang disebut -ama mbokul- (baca:bapa besar) sebagai seorang tetua adat yang mampu menangkap pesan-pesan leluhur. Perkecualian, hanya di Kampung Muara seorang perempuan boleh melakukan tugas itu. Hanya Apu Liawa. Apalagi hamayang kali ini berkaitan dengan bencana serangan buaya. Seluruh harapan warga bertumpu pada Liawa untuk bisa memperoleh jawaban atas bencana ini.
Selesai hamayang dari -uma mbokul- (rumah alang yang dikhususkan untuk rumah sembayang di Kampung Muara), Apu Liawa, turun dari bale-bale menyusuri pinggir sungai. Betapa gesitnya Apu Liawa melompat dari batu ke batu, dan menyisiri semak belukar di pinggir sungai. Warga terus mengiringi ke mana arah Apu Liawa.
Dua kelokan sungai, tepat di bawah pohon besar Apu Liawa berhenti. Uhu mangejing ditaruh di bawah pohon. Akar pohon besar menjalar hingga ke tebing sungai. Di situ Apu Liawa membakar serpihan cendana, bau harum merebak ke mana-mana. Gong tambur masih ditabuh, Apu Liawa melakukan ritual yang tak dimengerti warga, ritual yang sejatinya berbeda dengan hamayang kaum Marapu.
(kemarin semua media cetak dan elektronik mengulas korban keganasan buaya. Tim SAR gabungan masih mencari jasat Ngguli, korban yang belum ditemukan)
Langit mendung, di pinggir sungai warga kian membeludak sebab berita sudah tersebar sampai di kota. Satuan kepolisian, TNI, Tim Sar, para Jurnalis semua berkumpul menyaksikan prosesi ritual Hamayang Pamaringu ( sejenis upacara ruwatan). Mereka menunggu apa yang akan terjadi.
Harum cendana serupa dupa. Asap menebarkan wewangian magis. Suasana hening. Apu Liawa berkali-kali mengelilingj pohon besar sambil komat-kamit, sesekali ia menyelinap ke hutan, sesekali ia melompati bebatuan di pinggir kali. Di tengah kerumunan, seseorang berteriak keras sambiil menunjuk-nunjuk ke arah sungai.
"Wuya....nu....nu...Ngguli...nu"
Sepontan semua mata menuju ke arah yang ditunjuk. Kepala buaya nyembul ke permukaan air sungai. Warga menjadi gaduh berusaha mendekat. Beberapa pemuda sigap dengan tombak di tangan. Aparat kepolisian dan TNI menyiagakan senapan mereka.
Seorang Komandan dengan pengeras suara meminta agar warga menjauhi sungai. Ia juga mengkomando gabungan polisi, TNI, SAR. Namun rasa penasaran warga begitu kuat, mereka tak menghiraukan lagi himbauan yang disampaikan sang komandan.
Beberapa tembakan dilepaskan ke arah buaya, dua puluh meter-an dari pjnggir sungai. Buaya justru makin mendekat ke pinggir sungai. Warga kian gaduh, berlarian menjauhi sungaj. Para pemberani malah sigap untuk menyerang buaya. Tembakan kian membabi-buta. Sepertinya meleset, atau memang buaya tersebut tak tembus oleh peluru senapan.
Beberapa warga kaum kerabat Ngguli betreriak histeris campur tangis; "Ngguli....nu..nu...". Buaya menepi ke pinggir, semua mata terbelalak, buaya seperti sedang memeluk sesuatu. Tembakan dilepas bertubi-tubi, sang buaya tak bergeming.
Kandjali, meminta tembakan dihentikan. Ia adalah salah seorang pemuda yang sedari tadi sigap dengan tombak dan parang. Bersama dua temannya ia lepaskan tombak ke arah buaya. Kecipak air sungai memancarkan cipratan air tinggi ke langit. Buaya menggeliat menghilang ke dalam air sungai, satu tombak melukai kepalanya. Cengkraman mayat terlepas.
Tim gabungan SAR, Polisi dan TNI menuju perahu karet. Satu kelompok mengangkat mayat. Satu kelompok lain mengejar buaya. Kandjali ikut dalam kelompok pengejar buaya.
Kelompok pengangkat mayat berhasil mengangkat mayat. Dengan kantong mayat, dibawa ke darat. Berkerumun warga ingin menyaksikan mayat tersebut. Kondisi mayat sudah sangat menggenaskan. Seluruh tubuh sudah tercabik-cabik tak bisa dikenali.
Ridja, warga yang dari tadi meneriakkan nama Ngguli merangsek diantara kerumunan. Ia mengenali 'kanatar' di leher mayat. Spontan ia tersungkur menangis sejadi-jadinya.
" Duh Miri.....ama nai Rambu heana. Kanggiki heana ayae, nggamu tai na pa-angu luri-nggu. Miri....Miri....."
Beberapa warga memeluk Ridja, semua yakin bahwa mayat tersebut adalah Ngguli, suami Ridja, ayah anak semata wayang bernama Rambu Awa.
Di darat terjadi tangis sedu-sedan berkepanjangan setelah dipastikan bahwa mayat tersebut memanglah Ngguli, yang sudah tiga hari menghilang. Sementara Tim pengejar buaya masih mondar-mandir dengan perahu karet. Beberapa warga bahkan turut mengejar buaya dengan sampan. Namun buaya tadi tak berhasil ditemukan. Pengejaran akhirnya dihentikan.
(Seorang jurnalis televisi mengabadikan semua kejadian dengan Handycam. Hanya ia yang menyadari setelah buaya muncul, cameranya tak menagkap sosok Apu Liawa sama sekali)
Kehebohan munculnya buaya dan ditemukannya mayat Ngguli, membuat semua warga lupa bahwa prosesi pencarian mayat itu diawali dengan hamayang pamaringu. Semua juga lupa terhadap sosok Apu Liawa. Semua larut dalam duka.
Di kampung Limba yang agak jauh dari Kampung Muara, jenasah Ngguli dibaringkan di bale-bale -uma mbokul- dibungkus dengan lilitan -hinggi-. Upacara besar sedang dipersiapkan. Warga dari berbagai desa dan juga warga kota turut hadir untuk menunjukkan rasa belasungkawa. Berita 'Ngguli dimangsa buaya' menjadi headline di banyak media.
---00---
Menjelang malam, Lodu, urnalis televisi, melacak berita di Kampung Muara.
Senyap, Kampung Muara seperti tak berpenghuni semua warga dewasa melayat ke Kampung Limba turut berbela sungkawa atas meninggalnya Ngguli. Hanya nampak beberapa anak bermain di dekat kandang babi.
"Adik, di mana rumah Apu Liawa? , tanya sang jurnalis.
"Nu....", jawab salah satu anak sambil menunjuk rumah alang yang mengepulkan asap dapur.
Sang jurnalis segera menuju rumah alang tersebut. Asap membuat pengab seluruh ruang. Tak ada jawaban ketika ia mencoba memanggil-manggil.
"Ho.. mangu uma...!"
"Apu....apu....Ho..mangu uma!"
Tetap tak ada jawaban. Ia melongok dari belakang rumah. Tungku tepat berada di tengah rumah alang. Samar terlihat sosok tergeletak di dekat tungku. Di dekati tubuh yang tergeletak itu. Apu Liawa tergeletak diantara ramuan obat-obatan. Ada sebilah tombak di dekat tubuhnya. Keningnya terluka dibubuhi dengan ampas sirih pinang.
Lodu memastikan keadaan Apu Liawa.
"Apu....Apu...."
"Ambu kau pakareuk la hawiang!", jawab Apu Liawa lirih.
---00----
Waingapu, 07 April 2017

WUYA 1


cerpen by 
Yongky H. Suaryono 
Semalam aliran sungai di bawah jembatan menebar bau busuk bangkai. Orang-orang di sekitar muara mengutuk bahwa ada yang membuang bangkai dari kampung atas. Air sungai meluap, dari malam hujan belum reda hingga subuh. Dan subuh ini kegaduhan kembali terjadi di kampung muara, warga menemukan mayat tergeletak di pinggir muara.

Bau busuk membuat warga bangun lebih awal. Sekalipun hujan turun cukup deras, angin kencang merobohkan pepohonan, tetap saja, secara spontan warga sudah berkumpul di muara. Seorang ibu menyerobot diantara kumpulan, memastikan mayat siapa yang tergeletak di sana?
Segera para lelaki memindahkan mayat ke bale-bale rumah ketua kampung Muara. Kerumunan warga kian membuat gaduh dengan berbagai asumsi sebab musabab tewasnya orang di pinggir muara. Hujan masih deras mengguyur. Sepagi itu semua sudah terjaga dari tidur. Ini kali ketiga, ada orang mati di pinggir muara.
Perempuan tua yang sedari tadi tak bisa diam, terus mengikuti sampai mayat dibaringkan di bale-bale. Liawa, nenek Liawa perempuan kampung Muara yang disegani. Satu-satunya pewaris Ndeawa Ana Wuya, legenda Kampung Muara yang konon ceritanya memiliki ilmu sangat tinggi dan mampu berkomunikasi dengan buaya.
Bisik-bisik warga kampung malah mencurigai Liawa sebagai suanggi. Tapi siapa berani mengatakan itu? Kebaikan Liawa tak terbantahkan, ia selalu yang pertama berani mengatasi kegaduhan yang terjadi di kampung Muara. Bahkan semua warga juga tau Liawa mampu mengobati berbagai penyakit hanya dengan ramuan-ramuan berbahan belukar dari tepi muara.
Kini bukan menanti instruksi Kepala Kampung , warga justru menanti apa yang dikatakan Liawa untuk mengatasi situasi-situasi seperti ini. Biar bagaimana kedudukan tetua adat masih jauh lebih dihormati dari pada aparat kampung.
Liawa mengamati mayat yang tergeletak di bale-bale rumah Kepala Kampung. Hujan masih deras mengguyur, langit gelap, tak ada suara tangis. Semua warga sudah memastikan kekuarga mereka lengkap. Mayat itu bukan warga Kampung Muara.
Kondisi mayat sangat mengenaskan, seluruh tubuhnya tercabik-cabik, darah mengucur di mana-mana. Wajahnya membiru penuh luka nyaris tak dikenali. Sebelah kakinya bahkan nyaris putus. Segera Liawa menyiram segenggam kapur lalu menutup tubuh mayat dengan selembar hinggi. Liawa komat-kamit seperti membaca sesuatu, entah itu doa atau mantra. Semua orang terdiam.
Nenek Liawa kian keras membaca mantra, sejenak bahkan seperti kesurupan lalu berteriak :
" haaaaayeyauwu,...heayauwu... yeauwu...mbana....wuya.....wai....mbana....wuya...wai...tau ditangu....tau...ditangu...mbana....wuya...wai......."
Berulang-ulang semakin keras Liawa berteriak merapal kata yang sama, kemudian ia rebah tepat di samping mayat. Kepala Kampung memberikan minum air kelapa dari wadah tempurung. Liawa segar kembali. Warga menunggu apa yang hendak dikatakan Liawa.
"Haromu ta hamayangu la karahana mananga. Heana tau weling paraing ditangu"
"Buaya muara murka memangsa manusia. Bumi semakin panas, angin tak menentu arah . Air melimpah dari segala arah. Darah, tanah, api, air berputar tak lagi se-arah. Hujan dan panas berebut waktu. Panas dan dingin membuat semua makhluk berubah bentuk".
"Jauhi muara, jangan sembarang meobohkan kehidupan darat. Jangan serakah meraup kehidupan air. Ambu piti manguna hawiang, malawa tayapa kariangu. Ndaba mbulungu la pinu tana, napa ana da nyuta nama mangu-da".
Belum selsesai Liawa menyampaikan sesuatu, muncul dua orang polisi bersama beberapa warga dari Kampung Atas. Mereka mencari Ama, warganya yang menghilang sejak memancing semalam di kali. Tas dan alat pancing tertinggal di pinggir kali. Mereka kuatir Ama tergelincir ke sungai dan terseret banjir. Beberapa hewan piaraan juga sempat hilang. Warga Kampung Muara dan Kampung Atas sempat saling curiga.
Ternyata setelah diamati oleh petugas polisi, mayat yang di temukan di Kampung Muara sesuai dengan identitas Ama. Hujan sudah reda, Matahari pagi juga sudah menampakkan diri. Maka, segera dibawalah mayat Ama kembali ke Kampung Atas, warga Muara, termasuk Liawa turut mengantar.
Di tengah jalan rombongan terhenti di dekat jembatan. Warga berkerumun menyasikan tiga ekor buaya muncul di bawah jembatan. Liawa menghilang entah kemana....
Waingapu, 4 April 2017