Tuesday 18 April 2017

WUYA 2

cerpen by
Yongky H. Suaryono

"Ndewa Ana Wuya, lengenda Kampung Muara itu konon khabarnya adalah perwujudan Dewa Buaya yang memiliki kesaktian dan kekuatan setara seratus ekor buaya. Pada jaman Belanda ia pernah dihukum tembak oleh pasukan kompeni. Mayatnya dibuang ke laut. Namun selang beberapa hari Ndewa muncul kembali di rumahnya, biasa-biasa saja, seperti tidak pernah terjadi apa-apa".
"Ada yang menggambarkan bahwa sosok Ndewa adalah, tinggi, berambut ikal, kulitnya hitam dan bersisik seperti buaya. Kemampuannya menaklukkan buaya tak ada satu yang mampu menandingi. Anehnya tak pernah ia membunuh se-ekor pun buaya-buaya yang ditaklukkan. Setelah menangkap pasti akan ia lepas kembali di danau Tenawuya di tengah hutan Hawundu. Hutan lebat yang terkenal angker dan tak sembarang orang berani masuk ke sana".


"Menir Heyt, seorang controler Belanda wilayah Sumba pernah menduga kemungkinan Ndeawa adalah lelaki Chambri-Papua yang dipekerjakan oleh saudagar barat sebagai budak. Kapal saudagar tersebut tenggelam dan Ndewa terdampar di muara Kampung Muara. Namun itu hanyalah catatan yang tak pernah diakui. Warga lebih mempercayai bahwa Ndewa adalah titisan dewa buaya yang 'dirurunkan' di Muara".
"Satu-satunya turunan legenda Ndewa Ana Wuya hanyalah Apu Liawa, nenek misterius yang memiliki kemampuan berkomunikasi dengan buaya dan tinggal sebatang kara di Kampung Muara. Apu Liawa, satu-satunya perempuan yang bisa menjadi pemangku adat dan berhak memimpin hamayangu".
(Lelaki renta berdarah Kodi ini menjelaskan perihal Legenda Kampung Muara secara detail. Ia bercerita sambil terus menumbuk sirih pinang di 'tuku' dari tanduk kerbau)
----00----
Hari ini setelah tiga kali mayat ditemukan dan satu yang masih hilang di muara, maka warga dari dua kabihu menggelar Hamayang Pamaringu secara besar-besaran. Sesaji dipersiapkan, gong tambur ditabuh sepanjang hari. Dua ekor kuda dipersiapkan sebagai korban. Seorang -ama mbokul- tetua adat, menari-nari dengan iringan tambur merobohkan hewan kurban dalam satu kibasan parang.
Apu Liawa menyiapkan -uhu mangejing- segenggam nasi dalam wadah tempurung, ada sirih pinang dan seekor ayam jantan. Darah dikucurkan ke bumi sebagaimana titah Marapu. Keseimbangan alam dan manusia didamaikan lewat penyucian darah. Perjanjian darah kepada leluhur untuk setiap bencana yang dianggap mulai tidak teraturnya keseimbangan alam. Titah Marapu dibaca lewat setiap guratan pertanda pada jantung kuda dan tali perut ayam.
Membaca tanda dalam upacara hamayang, biasanya dilakukan oleh pria yang disebut -ama mbokul- (baca:bapa besar) sebagai seorang tetua adat yang mampu menangkap pesan-pesan leluhur. Perkecualian, hanya di Kampung Muara seorang perempuan boleh melakukan tugas itu. Hanya Apu Liawa. Apalagi hamayang kali ini berkaitan dengan bencana serangan buaya. Seluruh harapan warga bertumpu pada Liawa untuk bisa memperoleh jawaban atas bencana ini.
Selesai hamayang dari -uma mbokul- (rumah alang yang dikhususkan untuk rumah sembayang di Kampung Muara), Apu Liawa, turun dari bale-bale menyusuri pinggir sungai. Betapa gesitnya Apu Liawa melompat dari batu ke batu, dan menyisiri semak belukar di pinggir sungai. Warga terus mengiringi ke mana arah Apu Liawa.
Dua kelokan sungai, tepat di bawah pohon besar Apu Liawa berhenti. Uhu mangejing ditaruh di bawah pohon. Akar pohon besar menjalar hingga ke tebing sungai. Di situ Apu Liawa membakar serpihan cendana, bau harum merebak ke mana-mana. Gong tambur masih ditabuh, Apu Liawa melakukan ritual yang tak dimengerti warga, ritual yang sejatinya berbeda dengan hamayang kaum Marapu.
(kemarin semua media cetak dan elektronik mengulas korban keganasan buaya. Tim SAR gabungan masih mencari jasat Ngguli, korban yang belum ditemukan)
Langit mendung, di pinggir sungai warga kian membeludak sebab berita sudah tersebar sampai di kota. Satuan kepolisian, TNI, Tim Sar, para Jurnalis semua berkumpul menyaksikan prosesi ritual Hamayang Pamaringu ( sejenis upacara ruwatan). Mereka menunggu apa yang akan terjadi.
Harum cendana serupa dupa. Asap menebarkan wewangian magis. Suasana hening. Apu Liawa berkali-kali mengelilingj pohon besar sambil komat-kamit, sesekali ia menyelinap ke hutan, sesekali ia melompati bebatuan di pinggir kali. Di tengah kerumunan, seseorang berteriak keras sambiil menunjuk-nunjuk ke arah sungai.
"Wuya....nu....nu...Ngguli...nu"
Sepontan semua mata menuju ke arah yang ditunjuk. Kepala buaya nyembul ke permukaan air sungai. Warga menjadi gaduh berusaha mendekat. Beberapa pemuda sigap dengan tombak di tangan. Aparat kepolisian dan TNI menyiagakan senapan mereka.
Seorang Komandan dengan pengeras suara meminta agar warga menjauhi sungai. Ia juga mengkomando gabungan polisi, TNI, SAR. Namun rasa penasaran warga begitu kuat, mereka tak menghiraukan lagi himbauan yang disampaikan sang komandan.
Beberapa tembakan dilepaskan ke arah buaya, dua puluh meter-an dari pjnggir sungai. Buaya justru makin mendekat ke pinggir sungai. Warga kian gaduh, berlarian menjauhi sungaj. Para pemberani malah sigap untuk menyerang buaya. Tembakan kian membabi-buta. Sepertinya meleset, atau memang buaya tersebut tak tembus oleh peluru senapan.
Beberapa warga kaum kerabat Ngguli betreriak histeris campur tangis; "Ngguli....nu..nu...". Buaya menepi ke pinggir, semua mata terbelalak, buaya seperti sedang memeluk sesuatu. Tembakan dilepas bertubi-tubi, sang buaya tak bergeming.
Kandjali, meminta tembakan dihentikan. Ia adalah salah seorang pemuda yang sedari tadi sigap dengan tombak dan parang. Bersama dua temannya ia lepaskan tombak ke arah buaya. Kecipak air sungai memancarkan cipratan air tinggi ke langit. Buaya menggeliat menghilang ke dalam air sungai, satu tombak melukai kepalanya. Cengkraman mayat terlepas.
Tim gabungan SAR, Polisi dan TNI menuju perahu karet. Satu kelompok mengangkat mayat. Satu kelompok lain mengejar buaya. Kandjali ikut dalam kelompok pengejar buaya.
Kelompok pengangkat mayat berhasil mengangkat mayat. Dengan kantong mayat, dibawa ke darat. Berkerumun warga ingin menyaksikan mayat tersebut. Kondisi mayat sudah sangat menggenaskan. Seluruh tubuh sudah tercabik-cabik tak bisa dikenali.
Ridja, warga yang dari tadi meneriakkan nama Ngguli merangsek diantara kerumunan. Ia mengenali 'kanatar' di leher mayat. Spontan ia tersungkur menangis sejadi-jadinya.
" Duh Miri.....ama nai Rambu heana. Kanggiki heana ayae, nggamu tai na pa-angu luri-nggu. Miri....Miri....."
Beberapa warga memeluk Ridja, semua yakin bahwa mayat tersebut adalah Ngguli, suami Ridja, ayah anak semata wayang bernama Rambu Awa.
Di darat terjadi tangis sedu-sedan berkepanjangan setelah dipastikan bahwa mayat tersebut memanglah Ngguli, yang sudah tiga hari menghilang. Sementara Tim pengejar buaya masih mondar-mandir dengan perahu karet. Beberapa warga bahkan turut mengejar buaya dengan sampan. Namun buaya tadi tak berhasil ditemukan. Pengejaran akhirnya dihentikan.
(Seorang jurnalis televisi mengabadikan semua kejadian dengan Handycam. Hanya ia yang menyadari setelah buaya muncul, cameranya tak menagkap sosok Apu Liawa sama sekali)
Kehebohan munculnya buaya dan ditemukannya mayat Ngguli, membuat semua warga lupa bahwa prosesi pencarian mayat itu diawali dengan hamayang pamaringu. Semua juga lupa terhadap sosok Apu Liawa. Semua larut dalam duka.
Di kampung Limba yang agak jauh dari Kampung Muara, jenasah Ngguli dibaringkan di bale-bale -uma mbokul- dibungkus dengan lilitan -hinggi-. Upacara besar sedang dipersiapkan. Warga dari berbagai desa dan juga warga kota turut hadir untuk menunjukkan rasa belasungkawa. Berita 'Ngguli dimangsa buaya' menjadi headline di banyak media.
---00---
Menjelang malam, Lodu, urnalis televisi, melacak berita di Kampung Muara.
Senyap, Kampung Muara seperti tak berpenghuni semua warga dewasa melayat ke Kampung Limba turut berbela sungkawa atas meninggalnya Ngguli. Hanya nampak beberapa anak bermain di dekat kandang babi.
"Adik, di mana rumah Apu Liawa? , tanya sang jurnalis.
"Nu....", jawab salah satu anak sambil menunjuk rumah alang yang mengepulkan asap dapur.
Sang jurnalis segera menuju rumah alang tersebut. Asap membuat pengab seluruh ruang. Tak ada jawaban ketika ia mencoba memanggil-manggil.
"Ho.. mangu uma...!"
"Apu....apu....Ho..mangu uma!"
Tetap tak ada jawaban. Ia melongok dari belakang rumah. Tungku tepat berada di tengah rumah alang. Samar terlihat sosok tergeletak di dekat tungku. Di dekati tubuh yang tergeletak itu. Apu Liawa tergeletak diantara ramuan obat-obatan. Ada sebilah tombak di dekat tubuhnya. Keningnya terluka dibubuhi dengan ampas sirih pinang.
Lodu memastikan keadaan Apu Liawa.
"Apu....Apu...."
"Ambu kau pakareuk la hawiang!", jawab Apu Liawa lirih.
---00----
Waingapu, 07 April 2017

No comments:

Post a Comment