Tuesday 18 April 2017

WUYA 4

cerpen by
Yongky H. Suaryono

Malam ini Purnama bulat sempurna meski di sisi barat langit terlihat mendung hitam berarak pelan. Bahkan guntur sesekali meggelegar dalam gulungan panjang. Dari kampung Praikudu di dekat hutan Hawundu langit menampakkan dua kontradiksi sangat mencolok terang di timur gelap di sisi barat.
Anjing melolong tak henti-henti. Hewan di kandang ribut dengan suara masing-masing. Kuda meringkik bagai dikejar singa, babi sekandang ribut seperti berebut makan. Ayam bekeok-keok bagai musim birahi. Malam menjadi bagian alam yang paling mencekam. Sunyi namun gemuruh, gelap namun benderang.

Praikudu kampung kecil di dekat hutan Hawundu, kampung para pemberani. Sebut saja Kandjali, si kembar Windi dan Wanno, mereka bertiga terkenal sebagai pemburu buaya. Masih ada Lidjang sang pemanjat yang juga piawai memainkan musik -jungga-. Padjaru sang penjinak hewan liar. Randja sang pandai besi yang piawai memainkan parang, tombak dan belati. Serta Njurumana yang paling dituakan di Praikudu sebagai pemangku jabatan Wunang.
Malam ini mereka berkumpul di bale-bale rumah Njurumana. Di malam.yg terasa janggal, mereka membicarakan perihal rencana mencari cara menangkap buaya di Sungai Kamba Kampung Atas. Tiga orang tetua dari kampung atas turut hadir di sana, Mbadi, Djima dan Landu.
"Kami menghadap kakak di sini mewakili warga Dusun Limba Kampung Atas. Hanya kepada kakaklah kami berharap. Kami sangat resah buaya putih semakin sering naik membahayakan warga. Buaya putih harus dimusnahkan demi membayar nyawa saudara kami Ngguli", Landu mengawali pembicaraan.
"Baik, kami terima kedatangan nyimmi dari Kampung Atas sebagai saudara bersaudara, maka kita wajib saling menolong. Namun perihal apu (wuya) biarlah sekiranya berkenan kami atasi sebagaimana kami memperlakukan apu. Benar bahwa demi membayar kematian saudara Nggulj, wajib kita 'dinginkan' denga darah buaya yang telah 'memanaskan' kepergiannya. Namun apu mana yang telah melakukan itu? Benarkah -apu bara- pelakunya? Atau haruskah kita bunuh semua apu di sungai Kamba?", balas Njurumana.


Landu, Mbadi dan Djima terdiam sejenak. Bahwa ketika Njurumana menyebut buaya dengan sebutan apu, ini adalah pertanda pihak Njurumana sangat menghargai buaya sebagai perwujudan hewan yang harus dihormati bahkan mereka masih kukuh menganggap sebagai sebagai perwujudan Marapu. Maka meminta mereka membunuh buaya putih sama saja menentang dan menabuh genderang permusuhan. Namun dendam kesumat terhadap nyawa Ngguli harus terbayar. Di sisi lain untuk menjaga keselamatan warga Kampung Atas, buaya-buaya harus dijauhkan dari sungai.
Landu ada di simpang kebimbangan.
"Apa pertimbangan kakak-kakak sehingga wuya bara tak perlu dibunuh?", kata Landu.
"Apu Liawa" , jawab Njurumana.
"Apu Liawa dari Kampung Muara?, sergah Djima.
"Jadi semua ini karena ulah nenek misterius itu?", tanya Landu
"Apu Liawa suangg", gumam Djima.
"Kami sudah menduga dia suanggi" , sahut Mbadi
" Dia suanggi!" timpal Djima.
"Sabar, nyimmi jangan omong sembarang. Tak baik kita saling tuduh" , balas Nurumana.
"Kalau bukan dia siapa lagi?" , tanya Landu dengan nada suara emosi.
"Buaya tetaplah buaya. Kita hormati sebagai apu yang dikeramatkan. Janganlah kita saling tuduh tanpa alasan. Supaya nyimmi tau, justru Apu Liawa yang memberikan petunjuk bagaimana harus menangkap -apu bara-. Mari kita belajar saling menghargai" , kata Kandjali berusaha menenangkan Landu.
"Sekarang terserah nyimmi saja", kata Njurumana ditujukan pada Landu dan teman-teman-nya.
Pembicaraan kian memanas, sebagai tamu di kampung orang, Landu tak bisa menyerang sikap orang-orang Praikudu. Kini keputusan ada di tangan-nya, apakah menyerahkan masalah buaya ini kepada orang-orang Praikudu atau bertindak sendiri bersama warga Kampung Atas. Pemerintah dalam hal ini juga terkesan hanya mengunggu, baru bertindak bila ada korban. Meminta bantuan Warga Kampung Muara juga terasa sulit sebab bibit saling curiga sebagai penyebab munculnya buaya-buaya Kamba sudah makin memanas sejak ditemukan mayat korban buaya di Kampung Muara.
Warna langit Praikudu masih sama. Di sisi timur Purnama masih benderang. Sementara awan gelap di sisi barat sepertinya sudah berubah menjadi butiran air. Hewan-hewan tak lagi kegerahan. Tak terdengar lagi ringkik kuda, keok ayam dan babi menguik. Apakah ini sebagai pertanda titik terang sudah ditemukan di antara pembicaraan mereka?
---00---
Di rumah duka Dusun Limba Kampung Atas, jasad Ngguli masih dibaringkan di bale-bale dan belum dibawa ke uma mbokul. Dibungkus hinggi berlipat-lipat tebalnya. Ridja dan Rambu Awa bersimpuh di samping jasad sang suami dan ayah. Angan Ridja mengejar bayang- bayang saat bersama membesarkan Rambu Awa. Keinginan kelak akan menyekolahkan anak semata wayang ke kota, cita-cita sederhana. Karena tekad itulah segala macam pekerjaan dijalani Ngguli demi cita-citanya.
Malam sebelum kepergian Ngguli ke tepi Sungai Kamba ia berpesan kepada sang istri.
"Hewan kita tak banyak. Apa pun keadaanya jangan korbankan demi adat. Biar itu jadi tabungan buat sekolah si Awa. Aku akan pergi memancing, biar kita dapat ikan, biar janin diperutmu memperoleh makanan yang bergisi. Orang bilang, makan ikan akan membuat otak janin dan anak jadi lebih pintar. Biar anak-anak kita menjadi anak yang cerdas".
Airmata Ridja tak terbendung begitu teringat pesan sang suami. Petaka seakan membuyarkan semua mimpi. Firasat-firasat apa yang dialami sebelum petaka ini datang? Ridja mengingat dalam deretan kenangan. Ngguli yang selalu mengelus perutnya sebelum tidur dan berbicara pada si jabang bayi. Menyanyikan syair-syair tentang delapan lapis langit. Mengukir mamoli dari uang koin kuno untuk Rambu Awa. Apakah semua itu pertanda bahwa ia akan pergi meninggalkan dua buah hatinya?
Bahkan Ngguli juga sempat mengukir -watu penji- , yang katanya akan dia jual untuk mempersiapkan kelahiran anak keduanya. Siapakah yang bisa mengira, ternyata Ngguli telah mempersiapkan -watu penji- untuk dirinya sendiri. Tuhan mengatur hidup orang sesuai garis kehidupan, kita berusaha meski kehendak Tuhan selalu akhirnya yang lebih menentukan.
Di rumah duka, setiap hari silih berganti orang dari berbagai penjuru ikut berbela sungkawa. Ridja dan anaknya Rambu Awa menjaga jasad ayah satu anak ini dalam suasana duka yang mendalam. Dua kali -hamayang pamaringu-, belum juga didapat pentunjuk dari leluhur mengenai kapan jasad Ngguli akan dimakamkan. Gong duka masih terus ditabuh, syair-syair Ludu Pamalungu dinyanyikan sebagai wujud duka-lara atas kepergian Ngguli.
Belum kering air mata, keluarga almarhum Ngguli akan terus disibukan dengan kompromi balas-membalas bawaan kaum kerabat. Siang ini keluarga dekat pihak -anakawini-. dari -kabihu Lau Tidihau datang membawa -dangangu meti- seekor kerbau -mandapa-. Ditambah tiga ekor babi sedang, gula, kopi dan beras sebagai bawaan -dangangu luri-. Wunang penyambut menerima kerabat dari Lau Tidihau, dan menyiapkan hidangan serta 'balasan' yang setimpal dengan bawaan tersebut. Empat lembar -hinggi- terbaik telah dipersiapkan untuk Kerabat anakawini. Selama masa berkabung dan sebelum jasad dimakamkan, pemandangan seperti ini akan terus mewarnai kesibukan di rumah duka.
---00---
Dusun Limba Kampung Atas dirundung duka, buaya sungai Kamba masih terus dikejar. Dendam kesumat bagai tak terelakkan, segala upaya ditempuh demi menangkap sang buaya.
Satu buaya kecil tertangkap. Warga dari berbagai penjuru dan dari kota turut beramai-ramai melongok ke dusun Limba Kampung Atas. Rasa simpatikah yang mereka berikan? Atau justru sebagian besar malah terjebak pada perilaku kekinian yang kadang jauh dari arti simpati?
Di sana, petak-petak kebun di tepi sungai sebagian rusak terinjak oleh orang-orang yang antusias melihat penangkapan buaya. Kegaduhan tentang buaya menjadi magnit banyak orang untuk memuaskan rasa penasaran. Sebagian orang ingin menunjukkan simpati dan belasungkawa.
Namun rasa belasungkawa dan simpati kadang malah tak ber-empati. Menyita rutinitas normal warga dusun demi kehebohan. Mengungkit-ungkit petaka. Menyalahkan alam sebagai sebuah kutukan, tapi lupa bahwa alam hanyalah wujud keseluruhan sinerginitas dari berbagai unsur.
Dalam Tatanan Marapu, dibagi tiga ruang alam; Tana Dita, Walu Ndani -(Alam Atas Delapan Tingkat). Tana Padua, Ina Tanangu- Ama Lukungu (Alam Tengah: Ibu - Bapa). Tana Wawa- Walu Ndani (Alam Bawa, Delapan Tingkat). Buaya, kita dan sungai adalah bagian dari makrokosmos kehidupan yang saling berkaitan
Mungkin saja Ngguli memanglah korban petaka buaya Kamba. Mungkin saja Ngguli adalah bagian dari suratan yang harus digenapi dalam kitab kehidupan. Namun lebih dari itu semua, Ngguli adalah monumen yang memberi kita jeda waktu untuk sejenak menatap ke langit.
--Mata Tuhan ada di segala tempat.
Ada waktu untuk lahir,
ada waktu untuk meninggal,
ada waktu menanam,
ada waktu untuk mencabut.
Ada waktu untuk menangis,
ada waktu untuk tertawa,
ada waktu untuk meratap,
ada waktu untuk menari
Segala sesuatu ada waktunya
Tapi tak ada sesuatu,
mampu menahan waktu--
Waingapu, 12 April.2017
( Hanya sebuah CERPEN, di-dedikasikan bagi masyarakat Sumba Timur)
Catatan:
Apu: nenek, sbgian org Sumba mengganggap buaya adlh nenek.
Wunang: juru bicara
Bara: putih
Suanggi: manusia siluman
Nyimmi: kalian
Hamayang Pamaringu: sembayang pendinginan, dimaksudkan sbg doa utk harkat/jiwa atas kematian yang tak wajar
Dangangu luri :makanan hidup dimaksudkan sbg bawaan/sumbangan utk keluarga duka
Dangangu meti: makanan mati dimaksudkan sbg bawaan/sumbangan utk kurban.
Kerbau mandapa : kerbau jantan bertanduk panjang.
Ludu Pamalungu: nyanyian kesedihan
Watu penji: batu kubur
(tag : feel free to delete)

No comments:

Post a Comment